Kohesif Dalam Buku Outlier

Written by

·

Dear pembaca, tulisan kali ini berbeda dengan sebelumnya karena aku mau bercerita tentang sebuah buku menarik yang sudah lama. Secara garis besar, buku Outlier karangan Malcolm Gladwell ini menceritakan bahwa kesuksesan seseorang muncul dari serangkaian keuntungan yaitu kesempatan yang dia peroleh dan warisan budaya yang mendukungnya untuk maju dan berkembang.

2020_Buku Outlier

Kita langsung masuk ke bagian kedua dari buku Outlier yaitu Warisan Budaya. Kenapa tidak mulai dari pertama? Karena bagian pertama bercerita mengenai kesempatan seperti kapan dan di mana pembaca dilahirkan, apa pekerjaan orang tua pembaca dan situasi sosial politik ekonomi saat pembaca tumbuh. Suatu anugerah dari Tuhan yang diberikan saat pembaca lahir dan merupakan sebuah tugas dari Tuhan di kehidupan kita. Ah… kamu, masa kecilku tidak bahagia bagaimana kamu bisa mengatakan itu adalah suatu anugerah? Mari pembaca, justru dari pengalaman hidup kita di masa lalu yang tidak menyenangkan, kita bisa belajar untuk tidak mengulanginya ke anak cucu juga ke orang lain. Masa lalu biarlah menjadi sebuah pembelajaran kehidupan. Aku percaya semua keyakinan mengajarkan saling memberikan maaf dan mengasihi sesama.

Sedangkan bagian kedua ini (warisan budaya) adalah keadaan yang melekat (kohesif) dalam perjalanan hidup kita sehingga mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan di masa depan. Pada suatu masa, kita bisa disadarkan apakah warisan budaya yang kita anut masih relevan dengan kondisi sekarang. Atau perlukan kita menyesuaikan diri? Inilah tantangan kita dalam beradaptasi dengan masa kini dan masa depan.

Yuk mari masuk ke dalam buku bagian kedua. Pembukaannya adalah kisah dari Harlan, Kentucky, Amerika Serikat mengenai bagaimana warisan budaya kehormatan-diri di daerah Harlan terbentuk. Sebuah kota yang didirikan tahun 1819 oleh delapan keluarga imigran dari kepulauan Inggris. Menceritakan tentang pertikaian keluarga Howard dan Turner yang selalu bermusuhan dan berakhir dengan banyak pembunuhan dari kedua pihak. Hanya dalam budaya kehormatan-diri, seorang pria pemarah bisa menembak seseorang karena menganggap orang itu telah menghina dirinya.

Sikap mereka yang dikenal sebagai orang agresif, tegas melalui kata-kata dan tindakannya berawal dari perasaan selalu was-was karena terancam kehilangan ternaknya. Sikap yang terbentuk itu kemudian menjadi sebuah budaya kehormatan-diri yang kuat bagi masyarakat yang tinggal di Kawasan Pegunungan Appalachia yaitu mulai dari sebelah selatan dan barat perbatasan Pennsylvania sampai Virginia dan West Virginia, Kentucky dan Tennessee, North Carolina dan South Carolina sampai Alabama dan Georgia bagian utara.  Mereka yang mula-mula tinggal di situ adalah imigran dari daerah utara Inggris, Skotlandia, dan Ulster di Irlandia Utara. Di tempat asal mereka, daerah tersebut adalah daerah perbatasan, terasing, tidak subur dan tanpa hukum. Mereka hidup dengan membentuk klan (kelompok kekerabatan yang besar) dan menekankan kesetiaan pada hubungan darah untuk bertahan. Warisan budaya inilah yang mereka bawa saat menyeberang ke benua baru.

2020_outlier_candi

Pada tahun 1990 kedua psikolog dari Universitas Michigan (Dov Cohen dan Richard Nisbett) melakukan sebuah penelitian mengenai budaya kehormatan-diri pada sekelompok mahasiswa. Salah satu percobaan mereka adalah meminta para mahasiswa ini melewati sebuah lorong sempit penuh lemari di ruang bawah tanah menuju ke sebuah kelas tempat mereka melanjutkan percobaan berikutnya. Lorong tersebut sengaja disituasikan sebagai berikut. Ada seorang pria menarik laci lemari (seolah-olah sedang memasukkan sesuatu) di lorong sehingga ruang gerak semakin sempit. Saat mahasiswa ini melewati lorong, pria tersebut “mengetes” dengan mengucapkan kata assho*e ke mahasiswa tersebut. Setelah melewati pria tersebut, para mahasiswa masuk ke dalam kelas dan berjabat tangan dengan para psikolog. Mereka mengetes cengkeraman tangan dan mengambil sampel air ludah dari mahasiswa tersebut sebelum dan sesudah kejadian di lorong untuk mengetes hormon testoteron dan kortisol mereka.

Hasil akhir menunjukkan budaya kehormatan-diri ini masih melekat pada masyarakat yang tinggal di daerah Amerika Serikat bagian selatan. Umumnya mereka marah mendengar kata Assho*e disematkan ke dirinya. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Amerika Serikat di bagian utara. Padahal jelas-jelas para mahasiswa (yang marah) tidak memiliki leluhur yang berasal dari Inggris. Bahkan tidak ada yang bekerja sebagai peternak. Mereka adalah anak-anak dari para eksekutif di perusahaan Coca Cola di Atlanta, Georgia. Mereka hanya kebetulan tumbuh di daerah selatan.

2020_outlier_JawaDalam kehidupan kita, tanpa sadar warisan budaya ini pelan-pelan menyatu dalam diri kita di lingkungan tempat kita tumbuh. Butuh kesadaran untuk mengetahui apakah budaya tersebut masih sesuai atau tidak dengan situasi saat kita berada sekarang. Aku mengalami penyesuaian budaya ini. Aku dibesarkan dalam tradisi budaya Jawa. Saat eyang putriku (di Klaten) masih hidup, kami para cucu yang tinggal di Yogyakarta, dituntut untuk bisa berbicara Bahasa Jawa Krama Inggil jika bercakap-cakap dengan beliau. Ini adalah tantangan bagiku karena Ibu dan Bapakku tidak terlalu ketat menerapkan aturan bahasa ini di rumah. Kami diijinkan berbicara Bahasa Jawa gado-gado yaitu perpaduan Bahasa Jawa Krama Madya dan Bahasa Jawa Ngoko. Sebagai informasi Bahasa Jawa Madya ini di bawah tingkatan dari Bahasa Jawa Krama Inggil. Akibatnya aku jadi susah mau berkomunikasi dengan Eyang Putri karena mau bicara saja aku mesti berpikir penggantian level bahasa. Penggunaan Bahasa Jawa berdasarkan tingkatan tertentu ini membuatku sungkan kepada orang yang usianya lebih tua.

Kesungkanan ini terbawa manakala aku kembali ke Jakarta kali kedua selesai menuntut ilmu. Aku masuk ke kantor yang ternyata egaliter dalam pemanggilan nama. Kebanyakan sesama karyawan memanggil nama langsung tanpa ada embel-embel mas, mbak, pak atau bu. Aku merasa canggung saat memanggil nama orang yang baru kita kenal dengan nama langsung, apalagi membayangkan orang tersebut sudah duduk di bangku kuliah saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kesannya kalau di Yogyakarta seperti “jangkar”. Belum lagi aku juga merasa minder (rendah diri) sebagai anak yang baru masuk. Puji Tuhan, temen kantorku menyemangati kalau kecanggungan itu hal biasa untuk anak dari desa, hahahaha…… Jadilah aku berusaha beradaptasi dengan berpikir kalau mereka adalah teman sebaya agar perasaan canggung ini lama-lama mencair. Ternyata benar juga, memanggil nama langsung dalam situasi dan kantor yang sesuai, turut menambah rasa percaya diriku. Pengalamanku menyatakan kalau pembaca sedang berada di suatu tempat baru, jangan ragu untuk bertanya, berguru dan belajar pada orang yang tepat seperti tembang Macapat Dandanggula di bawah ini. Beradaptasilah dengan lingkungan tanpa kehilangan identitasmu.

 

Lamun sira anggeguru kaki (Jika engkau meminta nasehat dariku)

Amiliha manungsa kang nyata (Pilihlah manusia sejati)

Ingkang becik martabate (Yang baik martabatnya)

Sarta kaweruh ing ukum (Serta mengenal hukum)

Kang ibadah lan kang wirangi (Yang taat beribadah dan menjalankan ajaran agama)

Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul (Apalagi mendapat orang suka prihatin yang sudah mumpuni)

Tan mikir pawewehing lyan (Yang tak berpikir pemberian orang lain)

Iku pantes sira guronana kaki (itu pantas kau berguru padanya)

Sartane kawruhanana (Serta belajar padanya)

– Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV –

Leave a comment