Kenapa bisa Tanakita? Berawal dari membaca sebuah blog, aku menemukannya. Sudah lama sekali sebetulnya, namun rasa malas untuk ke sana mengingat lokasi yang cukup jauh. Ditambah pemikiranku kalau kehidupan Senin sampai Jumat sudah lelah kok Sabtu dan Minggu mau menambah kelelahan lagi. Jadilah pikiran mengenai Tanakita ini terlupakan. Hingga…. datanglah masa ini. Masa di mana aku menghabiskan hampir seluruh waktuku di rumah. Sehingga jiwa ragaku merindukan keluar. Jujur iya, aku takut ketularan atau malah menjadi penular. Kemudian aku berpikir, Tuhan Yesus di mana tempat yang baik untuk melepaskan kerinduanku keluar rumah?
ALAM! Itu jawabannya. Tanakita, sebuah kata terlintas di pikiranku. Paket lengkap hiking dalam satu wilayah yaitu danau, air terjun dan Jembatan Situ Gunung yang scenic. Bergegas aku mencari webside-nya untuk menelpon dan mengirim email. Setelah data terkumpul, aku maju ke bosku, apakah dia menyetujui proposalku ini? Yes! Let’s go!!
Pikiranku kembali melayang ke masa aku sekolah di bangku SMP. Kebetulan aku masuk ke sekolah yang rajin berkemah. Setiap tahun ada perkemahan. Yang kuingat salah satu lokasi perkemahan adalah daerah Manis Renggo, sebelah utara Candi Prambanan. Merasakan alam secara langsung. Bagaimana bertahan dengan kondisi alam saat itu di usia 13 tahun tanpa orang tua di samping. Jangan dibayangkan tenda jaman dulu seperti tenda masa kini dimana atap dan alas menyatu. Tenda jaman dulu hanya sebatas atap saja. Kemudian untuk tidur, kita menggelar tikar. Ketika hujan deras turun disertai angin dan kita lupa tidak membuat saluran air di sekeliling tenda, maka terjadilah. Air hujan masuk, tikar basah, sepatu (lupa tidak dimasukkan ke dalam plastik) basah. Belum lagi empet – empetan di dalam tenda dengan kondisi tidak mandi seharian seruuuuu….
Kembali ke Tanakita. Sebuah perkemahan berkonsep keluarga atau pertemanan aku menyebutnya demikian, berlokasi di daerah Sukabumi. Cukup jauh dari rumah di Tangerang Selatan. Perjalanan ini menempuh waktu hampir 5 jam (sudah termasuk istirahat makan siang) karena kondisi jalan yang macet selepas keluar tol Sukabumi. Saranku paling penting kalau mau ke Sukabumi adalah NIAT dan ikhlas. Supaya tidak gondok di jalan hahaha…. Kondisi jalan tidak bisa diprediksi. Saat melihat google maps waktu tempuh sekitar 3 jam 30 menit namun kenyataan bisa jauh lebih dari itu.
Sesampainya di sana kegondokanku terbayar lunas. Hamparan lembah indah dan pemandangan sudut kota menyempil di antara hijaunya pepohonan mengusap mata dengan lembutnya. Rintik hujan ikut menambah romantisnya sore itu. Aku langsung mengambil minuman hangat (kopi dan teh), ubi rebus dan pisang goreng yang telah disediakan. Tenda sudah terpasang rapi dan tentunya selesai diuap (istilah mereka) untuk mematikan kuman. Rombonganku bergegas ke tenda dan sejenak meluruskan badan. Oiya, tenda ini adalah tenda modern. Maksudnya saat masuk ada semacam teras di dalam tenda untuk meletakkan sandal/sepatu dan peralatan lainnya. Kemudian baru masuk ke dalam bagian tempat tidur. Jadi saat hujan deras pun tidak ada cerita di masa lalu peralatan dan sepatu basah oleh hujan.



Sebelum aku lupa, perkemahan ini sudah menyediakan kamar mandi lengkap dengan shower air panasnya mengingat suhu di Tanakita berkisar 24 derajat celcius siang hari dan 18 derajat celsius di malam hari. Berjalan menuju kamar mandi yang lantainya adalah kumpulan batu hitam kecil-kecil, aku senang karena bagian kloset dan shower mandi dipisah. Gambarannya adalah tempat bilas saat pembaca bermain di kolam renang umum atau waterboom. Kalau tidak salah berhitung, ada lima kamar mandi pancuran (shower), empat kloset dan empat wastafel (tempat cuci tangan). Oiya hebatnya lagi ada aroma terapi di sudut kamar mandi.
Selesai tur ke kamar mandi aku berjalan-jalan keliling Tanakita. Setiap jenjang dataran (istilah yang kupakai) ada sekitar 10 tenda di dataran pertama kemudian turun tangga ada 10 tenda lagi di dataran kedua dan 10 tenda lagi di dataran ketiga. Dataran ketiga ini biasanya untuk acarakantor atau komunitas sosial karena ada panggung dan semacam pendopo untuk acara khusus.
Sore hari, salah satu pemandu Tanakita mengajak rombonganku untuk hiking ke danau. Jarak dari perkemahan ke danau sebenarnya dekat sekitar 20 menit namun, berhubung melewati tanjakan dan turunan yang cukup curam jadi ngos-ngosan bagi pembaca yang jarang jalan kaki. Jangan khawatir mengenai medannya karena sudah beraspal bahkan tersedia ojek resmi yang dikelola kawasan seharga Rp10,000 sekali jalan untuk diantar ke danau. Sesampainya di danau kabut mulai turun menutupi ujung danau. Cantik sekali. Ada rakit juga jika pembaca ingin keliling danau. Namun aku tidak menyarankan karena pengelola kawasan tidak menyediakan rompi pelampung (life vest) untuk pengunjung. Pendapat pribadiku, kalau ada aktivitas wisata di sungai, danau atau laut sebaiknya pengelola menyediakan sarana ini karena tidak semua wisatawan bisa berenang. Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati, bukan? Hehehe….sokwise 😊
Kembali ke perkemahan, hari sudah mulai senja. Makan malam sudah tersedia. Kelebihan berkemah di sini adalah sudah termasuk 3x makan dan snack ya. Harga memang dihitung per orang bukan per tenda. Kalau anak kita masih berusia di bawah 5 tahun ya terasa mahal hahaha… karena sebanyak apa sih anak balita makan namun pembayaran sama dengan orang dewasa? Jadi saranku sebaiknya mengajak anak-anak berusia di atas 5 tahun supaya bisa mengikuti seluruh acara hiking dan makan dengan puas. Itungan banget sih?? Namanya juga simbok-simbok 😊 hemat di ongkos untuk kenikmatan maksimal, hahaha……

Pemilihan alam untuk relaksasi di masa pandemi ini menurutku merupakan keputusan tepat. Apalagi kapasitas Tanakita hanya diijinkan 50% oleh pemerintah. Pada saat malam tiba, tersedia ruang yang lebar untuk menjaga jarak seraya menikmati suguhan musik akustik dalam dinginnya Kadudampit, Sukabumi. Lengkap dengan api unggun yang membuatku semakin bersyukur pada Tuhan Yesus betapa luas alam semesta ini. Langit malam itu memang mendung. Bintang tidak terlihat, tapi perasaanku mengatakan suatu saat hamparan keindahan bima sakti pasti bisa memenuhi mataku.
Keesokan harinya selesai sarapan, pemandu Tanakita sudah siap mengantar ke Jembatan Situ Gunung dan Air Terjun Sawer. Berhubung kedua tempat ini adalah tempat wisata maka biaya masuk di luar dari biaya berkemah di Tanakita. Tiket masuknya Rp50,000 untuk dewasa, sedangkan anak-anak Rp25,000. Tersedia juga tiket VIP dimana tersedia antrian khusus untuk mereka. Aku memilih tiket normal karena sudah lebih dahulu sampai dibanding wisatawan lain yang mungkin sedang dalam perjalanan ke Situ Gunung. Jalur hiking menuju jembatan tidak terlalu terjal mendaki dan menurun seperti jalur ke danau, namun jalurnya terdiri dari susunan batu dan tanah bukan aspal. Udara pegunungan sejuk terasa nyaman di paru-paru. Setelah berjalan beberapa waktu di dalam hutan yang sudah tertata ini, sampailah di Jembatan Situ Gunung yang scenic dengan panjang 243 meter menjulang di atas lembah setinggi 107 meter.
Wow, Saat berjalan di atasnya rasa deg-degan menjalar di jantung ini. Jembatan bergerak terus karena pengunjung yang sudah menyeberang sampai ujung, maka sisi satunya masuk lagi pengunjung. Pembaca bayangkan rasanya itu seperti naik perahu di Tanjung Benoa, penuh goyangan hahaha…. Aku melihat pemandangan gunung menjulang di atas jembatan dan hamparan lembah hijau terlihat sejauh mata memandang, menyatu seperti sebuah lukisan. Terima kasih Tuhan Yesus. Ingin rasanya aku berlama-lama melamun namun apa daya jantung ini meminta segera bergegas.
Di ujung jembatan Situ Gunung aku masih menatap ke belakang. Belum puas sebenarnya. Padatnya pengunjung memintaku bergegas ke tujuan berikutnya Air Terjun Sawer. Kalau sudah pernah ke Grojogan Sewu di Karanganyar, Jawa Tengah, ini mungkin bisa disebut kembarannya. Airnya deras dan terasa segar saat percikannya mengenai seluruh muka. Aku menempuh jarak sekitar 5 kilometer pulang pergi dari Tanakita ke Air Terjun Sawer. Namun, perjalanan panjang itu tidak terasa karena ada banyak spot cantik untuk dilihat dan ada tempat makan dengan aneka menu di jalur Jembatan Situ Gunung dan Air Terjun Sawer. Jadi pembaca tidak perlu khawatir bakalan kelaparan dan kehausan. Siangnya selepas mandi dan makan siang, aku pamit pulang. Sejenak, namun memberikan senyuman kebahagiaan di hatiku. Hal terpenting adalah anakku bersedia untuk pengenalan alam tahap selanjutnya.
Catatan untuk pembaca:
- Kalau mau menikmati Jembatan Situ Gunung, saranku menginap dua hari semalam di Tanakita dengan jadwal sore ke danau dan keesokan harinya (sebelum jam 7.30) ke Jembatan Situ Gunung dan Air Terjun.
- Membawa sepatu nyaman untuk hiking dan sandal untuk berkeliaran di sekitar tenda
- Membawa jaket (meskipun pihak Tanakita sudah menyediakan sleeping bag) karena udara malam di tanakita cukup mengigit untuk warga Tangsel.
- Membawa tempat minum botol untuk dapat diisi air saat hiking ke danau dan air terjun.
- Saat reservasi, pilih tenda di dataran 1 supaya dekat sekretariat. Siapa tahu malam-malam kebelet pipis.
Kenalkan alam pada anak tanpa menjadikannya trauma. Karena alam bisa menjadi sahabat saat kita tidak memaksakan diri.









Leave a comment