Kaulah yang diinginkan aku
Dari mimpiku dari mimpiku..
Coba terbangkan anganku
Dari sadarku …(Gigi – Terbang)
Bertahun lamanya pada bagian Moonshot tidak ada tambahan tulisan hingga tadi malam tiba-tiba pikiranku terbang ke pendakian terakhir sebelum kami beristirahat lebih dari satu tahun karena cedera. Pendakian ini dilakukan pada tanggal 31 Maret 2021. Dari Yogyakarta kami berempat (aku, suami, anak dan bapakku) berangkat jam 6 pagi menuju Basecamp Sawit. Perjalanan kurang lebih 2 jam. Kami melakukan registrasi dan membayar parkir kendaraan. Total biaya pendakian adalah delapan puluh ribu rupiah.
Awal pendakian kami begitu bersemangat karena cuaca cerah dan matahari menunjukkan sinarnya. Perjalanan menuju Gerbang Gunung Andong melewati area rumah dan ladang penduduk. Begitu memasuki gerbang, kami langsung disambut anak tangga. Menuju ke Pos 1, kami dihadapkan pada persimpangan untuk memilih melalui jalur lama atau jalur baru. Aku memilih jalur baru yang ternyata … lebih jauh pake banget! Hiks hiks…. Jalur baru memang cenderung landai tapi beneran bikin deg-degan karena langsung melihat jurang di tepi jalur pendakian.





Jalur baru yang landai ternyata lumayan panjang dan melelahkan. Selama kami mendaki, kami tidak berpapasan dengan pendaki lain. Kami seperti pendaki yang melakukan ekspedisi. Sendirian. Menuju ke pos 3 jalur semakin curam dan melelahkan karena semakin tinggi. Apalagi sebelah jalur adalah jurang. Ketika kabut terbuka sedikit, aku menengok ke bawah, deg!! Rasanya seperti badan ini tersedot ke bawah untuk terjun. Sereemm… Aku pengen evakuasi terbang pulang ke basecamp. Pikiran itu terlintas di benakku saat melihat sekelilingku kabut dan tiba-tiba hujan mengguyur cukup deras. Puji Tuhan kami berhasil berteduh di Pos 3.
Aku berbisik pada Tuhan, Duh Gusti, aku nyesel. Ternyata kalau sepi begini, serem juga di atas gunung. Siapa yang akan menemukan kami kalau kenapa-napa? Bapakku dan suami terlihat santai dengan situasi ini karena mereka terbiasa dengan pekerjaan mereka. Aku? Anak pedesaan yang pernah mendaki Gunung Turgo dan Gunung Nglaggeran namun tingginya di bawah 1000 meter. Satu gunung tinggi yang kudaki adalah Gunung Ijen namun Gunung Ijen adalah kawasan wisata dimana pendaki bisa menaiki gerobak belerang untuk sampai puncak. Bahkan bertemu ratusan orang dalam proses pendakiannya. Gunung Andong ini adalah pertama kalinya aku mendaki gunung dalam arti yang sebenarnya.
Sambil menatap hujan dan kabut tebal di sekeliling pos 3, anakku mengeluh lapar. Untung aku sempat membawa nasi dan bandeng di dalam tasku. Aku diam dan berdoa karena rasa takut menghantui, aku berpikir apakah kami akan baik-baik saja? Saking paniknya, aku sampai chat WA ke basecamp Sawit bertanya apakah aman meneruskan naik ke puncak? Dalam hati aku sebenarnya pengen dijemput helikopter.
Pembaca yang terbiasa naik gunung pasti pengen tertawa membaca tulisanku ini. Dan menyematkan satu kata buatku: M A N J A
Setengah jam berlalu, hujan mulai berkurang intensitasnya. Dari arah puncak datang empat pendaki turun dan menyapa kami. Makces, begini ya rasanya ketemu manusia selain rombongan kami. Senyum ramah tergambar di muka para pendaki tersebut. Mereka memberikan semangat pada kami untuk terus berjalan menuju puncak.



Aku bertanya? Apakah aman meneruskan perjalanan dalam kondisi kabut pekat begini? Mereka menjawab, aman. Karena jalur pendakian tidak tertutup. Hanya pemandangan di sekeliling tidak terlihat. Kami masih berteduh di Pos 3 hingga ada dua pendaki lagi turun dan tersenyum kepada kami. Aku bertanya bagaimana kondisi di atas? Apakah warungnya masih buka? Ternyata masih dan mereka memberikan semangat pada kami. Aku bertanya berapa lama lagi mendaki sampai puncak? Mereka menjawab sekitar 15 menitan berjalan tanpa berhenti. Bapak dan suamiku geleng-geleng kepala melihat kepanikan dan kekhawatiranku yang berlebihan. Semangat dan nyali tidak sebanding. Ketahuan… Si ketua rombongan ternyata ketakutan. Setelah hujan reda, kami memutuskan melanjutkan pendakian pelan-pelan mengingat yang terlihat di depan mata hanya jalur pendakian. Jalan naik berliku namun tidak seseram perjalanan Pos 2 ke Pos 3 dimana beberapa titik menunjukkan bekas longsor.

Dalam kabut kami terus menapak dan yakin bahwa perjalanan kami akan segera sampai. Dan benar 15 menit kemudian kami sampai ke Warung Tenda Biru. Bergegas kami masuk ke warung bersamaan hujan mengguyur kembali. Di dalam warung, kami bertemu rombongan pendaki empat anak sekolah menengah umum dan empat pendaki dewasa lain. Aku ngobrol dengan anak-anak SMU ini (tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki). Mereka menebak umurku katanya usia 30. Lumayanlah dapat diskon banyak. Hahaha…senangnya. Kami saling berbagi cerita penuh gembira. Dan aku baru tahu bahwa rata-rata pendaki lebih memilih jalur lama daripada jalur baru.
Oh iya, salah satu penjual warung Tenda Biru bernama Dobleh memang asli dobleh (ngelantur, pembicaraannya tidak jelas). Usianya sekitar 19 tahun. Dia ngomong terus sampai kami kewalahan menanggapi omongannya. Namun, berkat Dobleh, suasana puncak gunung tidak menyeramkan. Kalau pembaca mendaki ke Gunung Andong mampirlah ke Tenda Biru dan cobalah sensasi bertemu Dobleh.
Selesai makan mie dan minum kopi panas, kami melanjutkan perjalanan ke puncak sekitar 50 meter dari Warung Tenda Biru. Setelah itu kami memutuskan turun melalui jalur lama. Walaupun jalur lebih terjal namun pemandangan tidak semenyeramkan melalui jalur baru. Kami diselimuti pepohonan yang membuat kami tidak menatap langsung jurang di sebelah jalur.
Terima kasih para pendaki Gunung Andong untuk senyumnya untukku. Memberiku semangat dan tidak kapok untuk mendaki lagi.
Aku sisipkan pelajaran berharga saat mendaki Gunung Andong yaitu
Pembaca sebaiknya melakukan pendakian pada subuh menjelang pagi atau menjelang sore untuk kemudian bermalam di situ. Karena di atas jam 9 pagi kabut mulai menyelimuti puncak gunung. Sehingga pemandangan indah menuju ke atas gunung tidak bisa kita lihat.


Leave a comment