
Duduk selonjoran kaki pada ketinggian 3142 mdpl, aku makan bekal roti tawar sambil memandang Gunung Merapi yang sungguh menawan. Aku bersyukur dan mengucap, “Matur nuwun GustiYesus atas kesempatan ini. AnugerahMu luar biasa untukku.” Tiba-tiba teriakan seorang pemuda memecah lamunanku.
Bu doseeeeeen…. Kita ketemu lagi. Kaget aku.
Aku dudu dosen, Mas. Aku ki Ibu rumah tangga je.
Rapopo Bu dosen, aku dongake dadi dosen tenan. Mengko nek dadi dosen bimbing aku yo dadi mahasiswamu.
Siap. Amin, Mas. Matur nuwun dongamu.
Begitulah para pemuda Aremania yang aku kenal di pos bayangan sebelum Pos 1.




Cerita awal perkenalan kami begini. Setengah perjalanan menuju pos 1, rombongan kami yaitu aku, suami, anak dan Mas Acil, pemandu kami beristirahat di pos bayangan. Banyak pendaki sudah duduk leyeh-leyeh di situ. Aku pun langsung ambil tempat yang kosong untuk meluruskan kakiku.
Dan sapaan ramah dari seorang pemuda aku balas dengan pertanyaan, “Seko endi, Mas?”
Anak muda itu menjawab, “Arema, Bu.”
Langsung kubalas, “Aku Brajamusti.”
Langsung anak muda dan rombongannya tertawa riuh mendengar jawabanku. Penggemar bola pasti paham cerita Arema dan Brajamusti.
Kami tertawa bersama dalam ruang pendakian. Itulah percakapan sekejab di pos bayangan menuju pos 1.
Sepanjang perjalanan terkadang rombongan kami menyalip rombongan aremania. Kadang mereka yang mendahului. Lucunya anak-anak muda itu setiap kali bertemu denganku, mereka memanggilku dengan sebutan Bu Dosen. Wes jaaan….
Bingung sekaligus tersanjung. Profesiku adalah ibu rumah tangga murni dan asli. Bukan ibu guru apalagi ibu dosen. Aku jadi berpikir apakah aku sudah terlihat tua? Semua anak muda yang berpapasan memanggilku Ibu. Bahkan pemanduku Mas Acil aku minta panggil Mbak, tetep saja dia panggil aku Ibu. Aah…mana cermin. Apakah aku sudah setua itu ya? Apa mukaku seperti orang yang suka mengajar? Hahaha… Entahlah. Menurutku, aku belum setua itu sih 🙂 Ok, aku butuh skin care.
Baru kali ini keseruan di gunung seperti keluarga. Kami tidak saling mengenal sebelumnya. Kami bertemu di ruang bernama Gunung Merbabu jalur Selo. Sempat bercakap-cakap dengan rombongan anak muda dari Lumajang, mereka menawariku bermain ke pekarangan rumah mereka untuk mendaki Gunung Semeru. Ah… mau sekali jika GustiYesus berkenan. Saat ini Semeru sedang ditutup karena meletus. Aku berharap suatu saat aku naik Gunung Semeru meskipun hanya sampai Ranu Kumbolo. Kemudian aku bertemu dengan rombongan dari mahasiswa Vokasi Pengelolaan Hutan berjumlah 13 orang. Kemudian rombongan dari SMK Pika Semarang beserta guru mereka berjumlah 17 orang dan banyak rombongan lain yang bersama-sama dengan kami.
Waktu tempuh untuk pendakian dari basecamp sampai sabana 1 berkisar 5 sampai 6 jam. Perjalanan pos 2 menuju pos 3 serta menuju sabana 1 adalah perjuangan yang melelahkan. Sepanjang pendakian kami saling menolong. Tangan pendaki satu menarik tangan pendaki lain supaya tidak terpeleset. Belum lagi saat pendakian menuju puncak (summit) yang dilakukan dini hari sekitar pukul 4.30, aku sempat berucap kula kapok Gusti, kula kapok. Proses mendaki gunung di atas ketinggian 3000 mdpl sungguh menguras tenaga. Aku lelah, capek, tersiksa… Namun, ketika berhasil sampai puncak, lupa semua keluh kesah. Suguhan 7 gunung adalah perwujudan keindahan alam Indonesia yang tiada taranya. Gunung Merapi, Gunung Lawu, Gunung Andong, Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing berendam dengan anggunnya di tengah lautan awan. Mereka meneguhkan jati dirinya sebagai penghuni negeri lautan awan. Belum lagi pemandangan hamparan sabana 1 dan sabana 2 menghiasi mata kita. Sungguh ajaib benar GustiYesus.


Merbabu bisa menjadi sebuah ruang untuk mendapatkan sapaan ramah, senyuman hangat dan dukungan semangat untuk tidak menyerah. Berhubung gunung ini terletak di provinsi Jawa Tengah maka kesopanan khas Jawa melekat dalam percakapan. Monggo, duluan ya, Bu sambil tangan kanan maju ke depan dan badan setengah membungkuk ke bawah. Anakku terkesima. Dia bertanya, “Ma, mengapa para pendaki Merbabu sesopan itu?”
Aku merenung, kagum, apakah ini karena magnet Gunung Merbabu yang menarik para pendaki pada eksistensi budayanya untuk hormat kepada orang yang lebih tua? Tidak peduli apakah pembaca mengenal secara pribadi atau berjumpa pertama kali di tempat umum. Seperti yang aku pelajari waktu kecil dulu, aku selalu menggunakan Bahasa Jawa Krama kepada orang tuaku. Sebaliknya mereka menggunakan Bahasa Jawa Ngoko saat bicara denganku. Sungkan alias pakewuh dengan orang lebih tua menjadi perilaku yang tak pernah lekang oleh waktu. Seolah mencoba mencerna penjelasanku, sepertinya ruang Merbabu telah menjadi pembelajaran sendiri bagi anakku.
Ketika seorang kawan mengatakan iri kepadaku, aku tersipu. Apa yang kulakukan bisa dilakukan semua orang termasuk pembaca. Bukalah jendela dan lihatlah ke atas. Di situ menjulang gunung-gunung memenuhi mata pembaca. Ya, betul. Aku tidak kemana-mana. Aku pergi ke tempat yang bisa dilihat dari pekarangan rumah.





Hidup tanpa sinyal selama dua hari di tengah hamparan sabana. Kabut menempel pada wajah yang penuh debu. Tes…. Rasanya dingin membelai pipi. Tarikan dan hembusan nafas akan kita rasakan sebagai anugerah yang luar biasa. Di sinilah pembaca bisa merasakan raga dan atma berbicara. Mereka akan memberikan tanda, kakimu lelah istirahatlah dulu. Nafasmu tersengal, minumlah dulu. Tersenyumlah pada pendaki lain maka atma terasa damai dan tenang.
Tidak ada persaingan dalam pendakian gunung. Semua melakukan hal yang sama untuk satu tujuan ke atas. Tidak ada pejalan kaki diselip oleh pengendara motor dan diselip lagi oleh pengendara mobil untuk selanjutnya diselip bis antar kota antar provinsi. Di ruang pendakian, semua berjalan kaki, bersama. Tenang.
…
Tetap bermain awan
Merangkai mimpi dengan khayalku
…
Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
…
(Aku dan Bintang – Peterpan)

Leave a comment