Catatan # 12 Adakah Kalina Dalam Lini Masaku? (Catatan Pendakian Gunung Gede)

Written by

·

Oh how quickly life can turn around

In an instant

It feels so good to reunite

Within yourself and within your mind

Let’s find peace there

(Creed – My Sacrifice)

Ternyata kamu adalah salah satu rahasia masa depan yang ada di timeline-ku (lini masa). Bolak-balik hilir mudik lewat tapi ga pernah terbesit datang mengunjungi karena berada di kakimu saja aku sudah gembira. Kesejukan udara yang kamu berikan membuatku merasa nyaman. Rasanya sudah cukup bisa ke Puncak Pass. Aku masih ingat tatkala aku masih smp, aku pernah melewatimu. Saat itu rombongan keluarga besar hendak bertamasya ke Taman Safari. Tol Cipularang belum ada sehingga jalur dari Bandung ke Cisarua melewati dirimu. Aku adalah pemabuk darat yang parah. Jalur meliuk-liuk membuatku sangat membenci jalan pegunungan. Kantong plastik dan antimo adalah sahabat sejati ditambah tidur merupakan rangkaian pilihan terbaik untuk melupakan penyakit itu. Siapa yang menyangka di masa depan jalan meliuk-liuk adalah sahabatku dalam mendaki.

Pembaca, persiapkan diri ya karena di sini aku curhat panjang. 

Catatan pendakian kali ini ada banyak kata pertama. Mari kita mulai. Satu, pertama mendaki anakku tidak turut serta karena dia mengikuti Jambore Pramuka. Kedua, pertama mendaki bersama teman-teman kerja PakSu. Biasanya kami mendaki bertiga saja plus ditemani pemandu. Ketiga, pertama mendaki jarak tempuhnya paling jauh dibanding ketujuh gunung sebelumnya. Keempat, pertama mendaki kemalaman di jalur pendakian. Kelima, pertama mendaki ga ikut repot bikin menu makanan. Temen-temen PakSu yang mempersiapkan karena mereka pendaki-pendaki senior. Jadi yang junior dimohon belajar sama senior. 

Inilah pendakianku yang tidak kemrungsung. Pulang kerja rombongan kami mampir dulu di toko bahan sembako untuk belanja kebutuhan pendakian. Kemudian lanjut makan sate di pinggir jalan. Setelah itu baru masuk tol menuju lokasi basecamp Gunung Gede. Semua dilakukan dengan santai. Proses pendakian yang aku baru pahami, tidak melihat jam tangan. 

  • Semua mengalir bahwa setiap detik untuk dinikmati bukan untuk diperhitungkan (waktunya).   

Pembaca, aku yang sok sibuk dengan timetable. Jam segini harus di sini. Jam segitu harus sudah tidur. Kalau kemalaman sampai basecamp udah stres sendiri. Membayangkan tidur kurang dari 8 jam besoknya bakalan kecapekan. Kebayang paginya bangun kesiangan grusah grusuh ke pos simaksi karena takut kemalaman dalam pendakian. Astaga aku ini overthinking. Belum lagi aku masuk kategori pendaki mandi alias aku tahu bakalan ga mandi di puncak, jadi setiap mau melakukan pendakian, aku mandi dan cuci rambut. Padahal nanti juga kotor ditambah kalau mendaki di musim kemarau bakalan panen debu. Percuma sebenarnya cuci rambut. Wis rempong tenan.

Aku baru menyadari, ternyata pendakian tanpa jadwal yang ketat enak juga. Tidur tidak harus 8 jam. Aku tidur sekitar 5 jam karena kemalaman sampai di basecamp. Puji Tuhan aku tetap sehat tidak masuk angin. Timetable hanya untuk me-reminder apa saja yang diperlukan supaya tidak ketinggalan. Cukup! Itu saja. Ingat setiap detik untuk dinikmati. Aku sadar aku ini panikan kalau sudah punya jadwal dan jamnya berubah. Disclamer ya keribetan panik hanya terjadi di perjalanan menuju basecamp. Kalau sudah mulai pendakian dari pos simaksi, aku relatif tenang dan sabar sepanjang pendakian. Jadi jangan heran ketika paksu mengajakku bergabung pada pendakian Gunung Gede bersama teman-temannya, dia berpesan untuk enjoy nikmati saja. Bahasa halus dari jangan gampang panik. 

Para senior ini sering naik gunung. Mereka sudah naik banyak gunung antara lain; Gunung Semeru, Sumbing, Lawu dan Ciremai. Pendakian ke Gunung Gede ini bukanlah pendakian pertama mereka ke sini. Pembaca, ada satu hal yang aku pelajari dari para pendaki yang sudah mengumpulkan banyak pengalaman pendakian. Para bapak dan anak muda ini cenderung rendah hati dan sabar. Mereka menunggu kami berdua para pendaki junior (meski dari sisi usia kami lebih tua) yang masuk kategori pendaki siput. Salah satu anak muda yang bersama kami bercerita kalau bersama timnya yang muda-muda, waktu yang ditempuh untuk turun puncak Gunung Gede ke Kandang Badak hanya 30 menit. Bersama kami, mereka sabar berjalan selama 120 menit (2 jam). Mendaki gunung memang salah satu cara mengenal karakter asli seseorang. 

Pendakian Gunung Gede jalur Cibodas adalah salah satu jalur terindah untuk para pecinta jelajah hutan. Perhatikan kata jelajah hutan. Sepanjang trek/jalur, pembaca akan disuguhi keindahan hutan alami Gunung Gede Pangrango. Persiapkan kaki untuk jalur panjang ini. Jalur yang terasa landai dan berundak-undak batu membuai para pendaki. Kalau memang masih pemula seperti aku, sebaiknya jangan terlalu lama beristirahat di Telaga Biru karena jarak dari pos ini ke Kandang Badak masih jauh pakai sekali. Keindahan Telaga Biru memang memanjakan mata. Airnya yang jernih memantulkan warna hijau pohon-pohon yang memayunginya. Bening seperti cermin. Bagi yang senang merasakan pendakian di dalam hutan, jalur ini adalah favorit pembaca. Pohon yang berderet-deret rapat menolong pendaki dari paparan sinar matahari. Waktu terasa berhenti. Pembaca akan disuguhi banyak kejutan di sepanjang jalurnya. Setelah terbuai jernihnya Telaga Biru, kejutan selanjutnya ada Jembatan Rawa Gayonggong. Jembatan semi beton yang dibangun di atas sebuah rawa. Pembaca perlu berhati-hati saat melewatinya karena ada beberapa bagian sudah berlubang jadi kaki bisa terperosok. Setelah melewati banyak pos di dalam hutan sampailah pada pos yang aku tunggu. 

Pos yang paling spektakuler yaitu Pos Air Panas. Pos Air Panas mengajak pendaki masuk dalam dimesi lain. Uap mengepul, menghisap badan kita masuk. Kalau pas kabut turun bersama dengan tebalnya uap air panas, kita ditelan dalam uap “bermuda” Gunung Gede. Kaki dan tangan harus seirama karena untuk melewatinya kita meniti barisan batu yang licin terguyur air terjun. Sementara tangan berpegang erat pada tali. Aku merasa jadi petualang sejati karena berhasil melewati uap “bermuda”.

Untuk bisa merasakan sensasi uap “bermuda” Gunung Gede, pembaca perlu berjalan kaki sekitar 3 sampai 5 jam dari Pos Simaksi. Tergantung ritme pembaca. Aku sendiri menempuh 4 jam untuk sampai di pos ini. Pengalamanku kalau sudah masuk angka 4 jam, alarmku mulai nyala. Aku pengen segera sampai di area camping untuk rebahan. Tapi… pendakian jalur Cibodas tidak sedekat itu, pembaca. Aku pernah membuat judul di IG story untuk tulisan ini adalah Jalan Tak Berujung. Perasaaanku kala itu penasaran, kok ga sampai-sampai. Padahal aku sudah berjalan jauh dan lama. Aku mulai bosan. Aku suka trek terbuka. Memang langsung terkena paparan matahari tapi menyenangkan bisa menatap langit dan sesekali bisa menengok kota di bawahnya. Jalur Cibodas bisa dikatakan full dalam hutan. Mungkin begini rasanya menjadi Tarzan.  

Selanjutnya mari kita meninggalkan Pos Air Panas. Kejutan di depan adalah keindahan air terjun cantik. Dia tidak terlalu tinggi tapi air terjunnya seperti tirai di acara pernikahan outdoor ala-ala orang barat. Terlihat mungil tapi megah. Air mengucur deras memantulkan warna putih semi coklat yang sendu namun romantis. 

Perjalanan kami lanjutkan menuju Kandang Badak. Setelah menempuh pendakian selama 7 jam sampailah kami di tempat berkemah. Banyak pendaki sudah mendirikan tenda. Kami mendapat tempat di sudut dekat dengan sumber air. Lega rasanya. Jalan tak berujung sementara mendapat ujung. Pikiranku masih berkelana, besok masih punya pekerjaan rumah summit. Waktu tempuh normal Kandang Badak ke Puncak adalah 2 sampai 3 jam. Saking lelahnya selesai makan malam aku langsung tertidur.

 Keesokan harinya kami melanjutkan tujuan kami menuju titik tertinggi Gunung Gede. Setiap berpapasan dengan pendaki yang turun aku bertanya masih jauh ga? Jawabannya mulai dari Masih Bu, Semangat Tante. Sampai aku berharap jawaban selanjutnya semoga mengarah ke Mbak (turunan dari Bu – Tante). Ternyata tetap mentok di Tante. 

Trek dari Kandang Badak ke kawah adalah pertemuan dengkul dan dahi bersalaman dalam hutan pohon Cantigi. Ga terlalu sering salaman sih, hanya saja tetap kerasa tarikannya. Setelah tiga jam berlalu, Puncak Gunung Gede berhasil dicapai. Terima kasih Tuhan Yesus. Kawah terhampar luas sejauh pandangan mata. Aku merinding saat menatap air kawah berwarna hijau. Hari itu cerah. Ajaib benar Tuhan. Gunung Pangranggo di seberang ikut tersenyum sesekali tampak malu tertutup kabut. Dejavu seperti mengulang kembali cerita Gunung Merbabu dan Merapi. Berpasangan, saling berhadapan dan melempar senyuman.

Saat sedang melamunkan keindahan kawah, tiba-tiba aku bertemu burung-burung yang beterbangan cepat seperti rangkaian anak panah yang dilepas. Bedanya ini bukan garis lurus melainkan berputar cepat di atas puncak kawah Gunung Gede dengan kepak sayap lurus 180 derajat. Apakah kamu ada di antara burung itu, Kalina? Ataukah itu anakmu? Atau cucumu?  Seandainya benar itu kamu, aku sungguh beruntung menatapmu sedekat ini. Pembaca, Kalina adalah sejenis elang Jawa (Nisaetus Bartelsi) berjenis kelamin betina yang hampir punah. Kalina sempat dirawat di Pusat Pendidikan Konservasi Elang Jawa di Resort PTN Cimungkad selama 21 bulan. Setelah itu dia dilepas kembali ke habitat aslinya di Gunung Gede – Pangranggo. 

Bersama bisa mendaki dan sampai ke puncak adalah sebuah pencapaian sendiri dalam irisan kehidupanku. Pembaca silahkan memilih sebuah pencapaian yang memberikan semangat untuk meneruskan kehidupan. Karena di zaman yang serba media sosial, kita harus memiliki pencapaian dalam diri untuk bisa bertahan. 

Pohon willow tidak pernah menantang angin. Dia ikut bergelayut ketika angin datang dengan kuat. Dia tidak tumbang. Itulah kita dengan pencapaian. Carilah kegiatan atau kegemaran sebagai sebuah pencapaian dalam lini masa kehidupan kita supaya kita tetap fokus dan tidak mudah goyah dengan badai media sosial. Perhatikan sekitar kita. Tanpa sadar apa yang kita lihat saat ini bisa jadi berhubungan dengan masa depan. 

Ketika lini masa itu terangkai, pembaca seperti menyelesaikan satu puzzles kehidupan.

2 responses to “Catatan # 12 Adakah Kalina Dalam Lini Masaku? (Catatan Pendakian Gunung Gede)”

  1.  Avatar
    Anonymous

    Keren abis!!

    tersentuh hatiku saat mendengar tentang Kalina dan kamu berusaha menyapanya jeng… Tuhan Yesus Kristus memberkatimu, selamat menikmati keindahan alam ciptaan-Nya yang aku sendiri ga akan pernah bisa mencapainya… Terima kasih sudah berbagi pengalaman mendaki 🙏

    Like

    1. Maria Santi Mawanti Avatar

      Sama-sama 🙂 Semoga kalina dan seluruh kawanannya bisa tetap lestari di habitatnya. Terima kasih.

      Like

Leave a comment