Simbok, jangan ikutan demo ya
Aku masih pengen barengan lama sama simbok.
Aku bengong, mulutku ternganga, tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut anakku. Mungkin saking seringnya dia melihat sosok simbok yang ambisius dan suka ngatur jadi berpikir kejauhan. Simbok terlihat ambi dan ngatur karena sedang mengajari kedisiplinan dan tanggung jawab, Nak. Padahal kalau dirunut, ngaturnya hal yang berbau domestik, seperti membersihkan tempat tidur, membuang sampah dan mencuci piring sehabis makan. Bagi anakku, pekerjaan itu rasanya kerja paksa. Kamu terlalu jauh Nak… Tulisanku berjudul
sudah menjelaskan tugas meliput saja aku tak sanggup apalagi menjadi peserta demo.
Bulan Agustus 2025, aku merasa patah hati. Posisi hati sedang disembuhkan, terluka kembali. Demo terjadi dimana-mana. Saat sedang melakukan rutinitas domestik, sebuah pesan masuk ke telepon genggam dari pembaca yang memintaku menulis cerita tentang pengalaman di masa lalu sehubungan dengan hal ini.
Bengong keduaku. Aku sama sekali ga terpikir menuliskan sebuah cerita peristiwa politik. Saat menerima permintaan ini, aku berpikir, apa yang mesti aku tulis? Aku kembali fokus pada tujuan awal blog yaitu tulisanku tidak boleh menyakiti hati pembaca dan bisa memberikan kelegaan. Semoga tulisanku kali ini masih on track pada tujuan blogku.
Tahun 1998 posisiku di sebuah kampung di Yogyakarta. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan karena aku bukan peserta demostrasi kala itu. Keadaan carut marut di Jakarta dan Solo adalah berita yang aku lihat di televisi. Tidak perlu aku detailkan apa yang terjadi di tahun 1998 karena hati akan bertambah patah mengingat tragedi tersebut. Salah satu peristiwa yang aku ingat kala itu adalah orang berbondong-bondong menyetok bahan makanan sembako. Supermarket kosong melompong. Ketika aku bertanya pada ibu mengapa kita tidak menyetok sembako? Beliau menjawab:
Kita ini keluarga pns (ASN dulu disebut sebagai PNS – Pegawai Negeri Sipil), bisa menjalani hari demi hari saja sudah Terima kasih Tuhan. Ditambah kita tinggal di Yogyakarta dimana pasar rakyat masih buka.
Belilah secukupnya supaya semua kebagian.
Aku merenung. Itulah pesan ibuku. Kelebihan tinggal di perkampungan adalah kami saling menjaga, merawat dan memperhatikan. Falsafah yang membantu melalui hari-hari kedewasaanku.

Kehidupanku sebagai pelajar masih berjalan normal dimana aku tetap sekolah. Suatu hari, temanku menunjukkan sebuah dokumen tebal. Aku dan teman-teman yang penasaran ingin tahu perkembangan situasi bangsa, berkerumun membaca dokumen yang berisi informasi tentang perilaku para penguasa. Aku pusing. Perutku mual rasanya seperti kondisi mabuk darat yang sangat parah. Aku terhenyak mengetahui perilaku para pemimpin bangsaku. Seakan tidak percaya namun waktu membuktikan apa yang tertulis itu adalah suatu kebenaran.
Ada satu hal lagi yang aku ingat di bulan Mei tahun 1998, aku berboncengan dengan Bapakku untuk berkeliling mengitari bunderan UGM, Jalan Colombo dan Jalan Gejayan pada malam hari sekitar pukul 21.00. Hari itu demonstrasi besar terjadi di Yogyakarta. Aku melihat sandal, sepatu, kertas-kertas berserakan di tengah jalan. Sisa dari ban-ban terbakar masih mengeluarkan api namun tidak sebesar yang kami tonton sebelumnya di layar televisi. Orang-orang berkerumun sambil berjaga-jaga. Masing-masing orang terlihat waspada. Bapakku dengan bahasa kramanya bertanya pada bapak-bapak yang berkerumun. Aku lupa persisnya apa yang mereka bicarakan. Kalau dipikir, bapakku berani juga mengiyakan permintaan anak perempuan berkeliling kota Yogyakarta yang pada siang hari penuh dengan demostrasi dan pembakaran dimana-mana. Mungkin bapakku yakin, malam itu Yogyakarta telah kondusif.



Agustus 2025…
Dejavu, anakku bertanya; bisakah kita ke DPR dan Mako Brimob di Kwitang? Aku ingin memantau situasi.
Ehm…. Kali ini jawabanku tegas.
Tidak, Nak. Jakarta berbeda dengan Yogyakarta. Di sini kita tidak bisa membedakan mana kawan mana lawan di tengah situasi sekarang. Terlalu berbahaya. Diam di dalam rumah sambil memantau situasi adalah hal terbijak. Sabar saja kalau sudah kondusif, kami akan membawamu ke sana.
Seperti bercermin. Apa yang kuminta kepada bapakku sekarang diminta anakku. Inilah yang disebut perlunya kita mengenal diri kita sendiri secara bijaksana supaya kita bisa mengantisipasi reaksi diri dari munculnya aksi yang tiba-tiba.
Perjuangan demokrasi masih berkelanjutan. Sebuah bangsa besar bernama Indonesia sedang berproses menuju kebaikan. Aku berdoa Tuhan selalu melindungi Bangsa Indonesia.

Leave a comment