Sepercik Cerita tentang Nama

Written by

·

Sepanjang hidupku yang sedang menuju usia setengah abad, ada 2 orang yang memanggil namaku dengan sangat lengkap! Alhasil sampai tulisan ini dibuat, aku mengingat kedua orang tersebut. Mari aku ceritakan kedua sosok ini tanpa ada penyebutan nama beliau berdua.

Kira-kira 11 tahun yang lalu ketika Whatsapp booming, orang beramai-ramai mengumpulkan teman masa sekolah dengan membentuk Whatsapp Group (WAG). Disitulah teman lama di masa lalu saling bertegur sapa. Sisi positif dari teknologi adalah conneting! Menghubungkan kembali teman yang tidak ada kabar, bisa berjumpa dalam layar telepon genggam. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi 50 tahun yang lalu. Aku bersyukur di saat teknologi ada dalam genggaman, usiaku sudah dewasa. Sudah matang. Siapa aku dan apa tugasku dari Tuhan sudah kutemukan. Jadi aku tidak “tersiksa” melihat gambar orang lain di media sosial. Fokus pada tugas demi kemuliaan Tuhan. Amin

Kembali pada ceritaku tentang dua orang tersebut. Salah satunya bertemu melalui WAG baju putih biru. Halo Bu Maria Santi Mawanti, apa kabar? Ketika dia memanggil namaku lengkap, aku tertawa terbahak-bahak. Aku bertanya, Harus ya selengkap itu?  Aku ingat terakhir kami bertemu adalah perpisahan smp. Setelah itu berpuluh-puluh tahun tidak kontak. Hilang jejak. Setelah sekian lama akhirnya berkontak, kalimat kedua yang dia tuliskan adalah mengucapkan terima kasih karena dulu saat sekolah aku mengajarinya pelajaran seni musik sehingga nilainya dalam kondisi aman. Dia juga bilang kalau aku selalu tersenyum pada siapa pun, jadi mudah mengingatku.

Yungalah… aku wae wes lali babarblas, dewe e ijih kelingan. Aku terharu dan tidak menyangka ada teman di masa lalu yang mengingat sebuah perilaku padahal aku sendiri sudah lupa. Itu seperti pengingat kalau kita sebagai manusia adalah makhluk yang pada dasarnya senang memberikan kebaikan kepada sesama. Jadi kalau ada masa kemarahan, iri hati dan kesedihan sedang menghampiri, maka kompasku lagi geser-geser ga menunjukkan arah utara (dibaca: kebaikan), yuk putar, bantu aku pembaca untuk mengarahkan kembali pada utara. Terima kasih.

Sosok kedua adalah seseorang yang terus terang aku tidak mengenalnya secara personal. Tapi sosok inilah yang memberikan dukungan penuh kepada suami untuk “nembak”. Hahaha… iya dia teman kuliah suami. Jadi saat kami sudah pacaran, suatu hari suami mengajakku ke kampusnya, di sanalah aku bertemu dengan PakC untuk pertama kali. Saat bersalaman, Bapak ini langsung menyebutkan namaku selengkap-lengkapnya sambil berkata, O….Ini ya yang namanya Maria Santi Mawanti. Kaget dan malu hehe… Aku penasaran apa yang diceritakan suami ke pakC kok bisa hapal nama lengkapku? 

Itulah kehidupan. Aku bertemu dengan banyak orang namun sedikit yang bisa aku hapalkan nama lengkapnya. Pada akhirnya yang teringat adalah nama sobatku. Itupun bisa dihitung dengan jari. Kalau sosok yang aku tidak dekat secara personal, aku ga inget nama lengkap mereka. Apalagi sosok yang menjadi bahan rumpian kami para simbok. Selesai rumpi, aku seringnya lupa. 

Aku punya kebiasaan payah yaitu kasih nama sekecantolnya. Pernah suatu waktu saat kami (aku, suami dan anak) saling bercerita, aku curhat kalau aku ga paham tulisan Ahmad. Aku bilang Ahmad ini bla bla bla… Trus mereka berdua bingung. Ahmad?? Serius namanya Ahmad. Aku bingung kok mereka bingung? Aku buka lagi tulisannya dan … Eh salah namanya Armada. Bukan Ahmad. Suami dan anakku tepok jidat. Parah nih simbok ganti nama orang seenaknya. Armada keluarnya Ahmad.

Untungnya, kalau memanggil nama, aku sudah terkendali. Jika aku ragu nama seseorang, aku tidak akan sok-sok an menyapa, daripada salah trus berujung tersinggung. Aku pasti tersenyum sambil mengingat dalam hati …. Duh namanya siapa ya?? Pembaca jadi tahu kan, kalau suatu saat dalam perjumpaan, aku cuman senyum-senyum ga sebut nama pembaca berarti aku sedang lupa… 

Nama. 

Leave a comment