Bulan November lalu mestinya aku menambah tulisan supaya target setahun 12 tulisan terpenuhi. Aku malah sibuk curhat di aplikasi lain. Sesuatu yang publish seperti blog harus banyak dipikirkan, diedit berulang kali sampai yakin tulisannya bisa memberi kelegaan. Sedangkan di aplikasi satunya berstatus private. Jadi pas menulis curhatan yang membaca sobat-sobatku sendiri yang pernah berjumpa secara nyata, bukan sekedar temannya teman yang ingin berteman tanpa pernah bertemu secara nyata.
Pembukaan yang meliuk ini sebenarnya mau membawa pembaca pada sebuah perjumpaanku secara nyata dengan Romo Koko (Albertus Joni, SCJ). Salah satu romo yang sedang naik daun di dunia digital karena pemberian materi yang mudah dimengerti. Beliau memberikan contoh nyata yang bisa diaplikasi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Termasuk ajakan romo supaya manusia mulai meluangkan waktu menengok iman. Iman yang aku maksud bersifat universal, tidak mengarah pada salah satu agama tertentu. Tolong lepaskan hal itu terlebih dahulu pembaca, supaya kita bisa memaknai sebuah informasi dengan tulus.
Pada hari Minggu yang lalu, aku berkesempatan hadir dalam seminar keluarga yang diselenggarakan sebuah gereja di Jakarta. Perjumpaan dengan Romo Koko memang selalu diiringi tawa khasnya hihihihi… dengan nada dasar MakLampir membuat seminar selama 2 jam penuh terasa tetap segar dan penuh semangat. Seminar keluarga ini mengambil tema: Bagaimana menemukan Tuhan di Layar Digital?

Romo Koko memberikan tigal hal yang menjadi poin penting untuk direnungkan.
Pertama, Keterbukaan. Romo Koko menyoroti kode kunci telepon genggam yang dimiliki suami istri. Apakah mereka saling mengetahui kode kunci masing-masing telepon genggam pasangannya? Pernahkah kita berpikir kalau orang yang duduk di sebelah telah kita “asingkan” karena kita lebih memilih dekat dengan layar telepon genggam daripada orang tersebut. Romo memberikan pesan, bagi sebuah keluarga ada baiknya masing-masing pasangan bisa mengakses kode kunci dari pasangannya. Bukan untuk saling memata-matai, namun lebih kepada keterbukaan dalam menjalin relasi. Apalagi usia manusia adalah kewenangan penuh Tuhan. Perpisahan antar manusia untuk kembali kepada Tuhan bisa terjadi tanpa pesan sebelumnya. Romo prihatin pada keluarga zaman Now dimana pasangan lebih memilih menghabiskan waktu lama di depan layar digital daripada berkomunikasi secara nyata dengan orang yang ada di dekatnya dalam sebuah keluarga. Keterbukaan memberikan ruang kepada masing-masing pasangan untuk sadar akan arti kehadiran secara nyata.

Hal kedua adalah Romo Koko mengajak kita dewasa dalam bermedia sosial. Arti dewasa disini mengacu pada pola berpikir yang kritis supaya tidak mudah tertipu. Apa yang ada di layar digital tidak boleh langsung dipercaya. Double cek sebuah informasi dan mencari tahu dari sumber-sumber lain serta mempertanyakan secara logika informasi tersebut. Landasan logika ini penting bagi kita untuk tahu apakah berita tersebut adalah rekayasa semata atau memang fakta yang terjadi di kehidupan. Era AI (Artificial Intelligence) – kecerdasan buatan memudahkan kita membuat sebuah video yang tampak nyata sesuai imajinasi si pemilik modal. Imajinasi yang disebarkan secara massive dalam aneka aplikasi media sosial merupakan sesuatu yang berbahaya jika manusia penerima informasi bersikap pasif. Pikiran kita diarahkan untuk terus fokus pada sesuatu yang diinginkan si pemilik modal.
Saat pikiran sudah teracuni, kita adalah obyek si pemilik modal.
Cara yang paling mudah untuk menyetir masyarakat melalui media sosial (antara lain youtube, instagram, facebook, tiktok, X, threads dan lain-lain). Pernahkan pembaca berpikir mengapa hanya ada tombol jempol atau love di platform media sosial? Seolah kita hanya diperkenalkan sebuah logika biner yaitu sistem berpikir yang hanya menggunakan dua nilai yaitu 1 adalah benar dan 0 adalah salah.
Ketika pembaca mengeklik tombol jempol atau love pada sebuah informasi maka halaman media sosial akan muncul informasi yang berkaitan dengan kesukaan pembaca tadi. Misalnya kesukaanku adalah menonton drakor, konten yang kita sebut sebagai konsep 1. Maka halaman depan media sosialku isinya seputar drama korea. Hidupku dikendalikan oleh kebenaran bahwa kehidupan di Korea Selatan sama dengan di serial drakor misalnya serba indah dan romantis. Ketika ada pendapat yang menyatakan sebaliknya, bahwa apa yang terjadi dalam dunia drakor itu sesuatu yang semu, dia adalah fatamorgana, reaksi yang muncul bisa berlebihan menyatakan ketidaksetujuan. Karena hal yang bertentangan dengan kebenaranku sebagai konsep 1 adalah 0. Aku langsung menyimpulkan informasi tersebut adalah konsep 0 yaitu hal yang harus dibenci karena 0 adalah lawan dari benar yaitu salah.
Proses ini berbahaya bagi otak manusia. Kita adalah makhluk ciptaan Tuhan yang secitra denganNya justru bermetamorfosis menjadi sebuah robot. Kepatuhan yang seharusnya ditujukan kepada Tuhan malah patuh kepada si pemilik modal yaitu manusia lain. Kita tidak lagi memiliki kebebasan berpikir dan berkehendak karena otak kita sudah terkena racun logika biner – suka lawan benci.
Pembaca, mari kita keluar dari gelembung filter (filter bubble) yaitu fenomena dimana kondisi kita terisolasi secara intelektual karena alogaritma internet hanya menyajikan informasi atau konten yang menjadi minat atau kesukaan kita berdasarkan riwayat pencarian di masa lalu. Kita tidak memiliki informasi atau sudut pandang lain yang berbeda. Hal ini membuat pikiran kita menjadi sempit. Hal paling menyedihkan dari pemikiran yang sempit adalah mudahnya terprovokasi akan sesuatu hal. Romo Koko menyarankan sebaiknya konsumsi di depan layar digital termasuk media sosial yang berlebihan dikurangi. Gantikan dengan sebuah pertemuan dengan keluarga, teman, kerabat dalam dunia yang nyata.

Hal yang ketiga adalah milikilah waktu mengolah batin kita. Luangkan waktu 30 menit setiap hari untuk berkontemplasi dengan Tuhan. Bercakap-cakap dengan Tuhan supaya kita bisa mengenal diri kita dengan penuh kesadaran. Kesadaran penuh menolong kita untuk terhindar dari hal-hal buruk ketika memegang layar digital. Romo memberikan tugas untuk menjumlahkan berapa lama waktu yang aku habiskan di depan layar digital termasuk mereply chat di whatsapp + nonton drama korea + selancar di media sosial + selancar di belanja online. Hasilnya weleh…. Lebih dari 5 jam. Aku perlu menata ulang kebiasaan harian untuk mengolah kembali batinku. Terima kasih seminarnya, Romo sebagai pengingat untukku.

Leave a comment