Sepenggal Ceritaku Bersama Jakarta

Written by

·

Sebuah perenungan. Tahun depan aku berulang tahun yang ke – 20 kenalan dengan kota ini. Berbekal semangat dan harapan melanjutkan kehidupan. 

Tahun 2002 adalah awal aku datang ke Jakarta sebagai pekerja dan langsung masuk asrama kantor. Aturan asrama memberiku jadwal mandi jam 5 pagi. Dalam hati aku ga terima karena mandi kok dijadwal. Siapa bangun duluan ya dia boleh mandi pikirku. Pilihan lain adalah kost. Mana berani kost karena pertama kali menapaki kota Jakarta adalah area Petamburan, Tanah Abang. Aku menelpon Ibuku di Yogya bilang mau pulang ke Yogya. Ibuku berpesan aku sudah menerima pekerjaan ini dan bersedia di asrama. Aku diminta menjalani hal itu dengan penuh tanggung jawab. Intinya aku ga boleh pulang hahaha… Waktu pun berlalu dan aku mulai mengenal daerah Petamburan. Ada proses panjang sehingga akhirnya aku memberanikan diri kost bersama sahabat di kantor. Seklumit cerita saat aku kos di Petamburan bisa membaca judul ini

Audy dan Koantas Bima 102

Selesai berproses di Petamburan, aku melipir bekerja ke wilayah sebelahnya yaitu di bilangan Sudirman. Selama di sini aku melihat Jakarta sebagai city of stars karena banyaknya lampu yang menyala di malam hari dari gedung-gedung pencakar. Seperti bintang gemerlapan. Saking gemerlapannya, aku pernah lupa pada jam. Sibuk lembur kerja karena melihat jendela di luar masih terang. Kenapa aku lebay? Karena di Yogya lampunya tidak seterang Jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Iya… Aku memang ndeso

Waktu berselang membawaku berpindah di ujung dari Jalan Jenderal Sudirman. Di bilangan Senayan tepatnya. Ini mungkin puncak dari impianku. Sehingga aku menerima sepenuhnya akhir dari perjalanan karierku berkantor. Saat aku di bangku sekolah dasar, aku pernah berdoa semoga bisa mendapat gaji senilai X dan bisa menjadi delegasi sebagai perwakilan Indonesia (Puji Tuhan punya kesempatan bisa rapat dengan teman-teman dari Asean, meskipun aku banyak ga ngerti karena keterbatasan bahasa). Sebenarnya itu mimpi yang berlebihan sih. Karena; 1. Bahasa Inggrisku masuk kategori hancur. 2. Saat itu aku tinggal di desa. Jadi angka X yang kuminta itu seperti pungguk merindukan bulan. Tapi… bagi Tuhan tak ada yang mustahil. Berpuluh-puluh tahun kemudian Tuhan mengabulkannya. Aku mendapat gaji X persis seperti impianku di sekolah dasar yang ternyata kalau dipikir lagi nilai X saat aku duduk di SD = X ditambah angka 0 (nol) dibelakangnya adalah nilai sekarang kan ada inflasi. Jadi mestinya dulu doaku adalah nilai X0 wakakakaka…

Ah manusia… Manusia…

Inilah refleksiku: meskipun ingin pulang Yogya dan letih pernah hinggap, Jakarta mengubahku menjadi pribadi yang kuat dan tegar. Seorang perempuan yang mabuk darat dan laut menjadi perempuan yang tahan banting bergelantungan di bis kopaja dan P6 bahkan berhimpitan duduk nyamping di angkot dengan teriakan khas Pak Sopir 4 6 4 6 (Empat nam empat nam! Geser geser masih bisa satu lagi! Percayalah penyakit mabuk daratku ini parah, karena melihat bentuk bis kotak persegi panjang aku dah mual mau m*ntah. 

Jakarta adalah jejak langkah yang diperkenankan Tuhan mewujudkan list impianku. Mulai dari merasakan naik pesawat terbang, merasakan deg-degan naik lift dalam gedung menuju lantai 52, menonton langsung konser band ternama dunia (Backstreet Boys, Bon Jovi, Metallica, Ed Sheeran), menyentuh salju di Jepang sampai menjemput waktu di Greenwich.

Kepada Jakarta, pembaca harus tegas menentukan tujuan hidup yang baik dan demi Kemuliaan Tuhan. Karena Jakarta dengan hedonisme mudah mengajak pembaca berbelok dari arah jalan yang semestinya ditempuh. Dia adalah magnet dan pembaca harus bisa mengerem supaya tidak semakin lekat (dengan hedonisme). Supaya tetap percaya diri dan menjadi diri sendiri. 

Bertahun kemudian saat reuni dengan sahabat kantor, aku menatap sebuah lorong penghubung pusat perbelanjaan di Senayan dengan kantorku dahulu. Di situ aku tersenyum sambil berbisik sudah pernah! Terima kasih Tuhan Yesus atas perkenananmu. Aku siap melanjutkan kehidupanku dalam tuntunan tanganMu.

Leave a comment