Ingatlah kawan kita pernah saling memimpikan
Berlari-lari ‘tuk wujudkan kenyataan
Lewati segala keterasingan
Lalui jalan sempit yang tak pernah bertuan
(Kesepian kita – Pas band)

Pejamkan mata pembaca sejenak, bayangkan saat ini pembaca berusia 11 tahun, sedang libur sekolah kenaikan kelas. Bersama teman-teman, naik sepeda menuju sebuah lapangan bertikarkan rerumputan dan berbaring di atasnya. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Tidur terlentang menatap ke langit. Serombongan burung terbang melintas di atas pembaca. Di tangan pembaca, buku karya Enid Blyton berjudul Lima Sekawan: Rahasia Di Pulau Kirrin terbuka lebar.
Matahari masih malu-malu menunjukkan keperkasaan panasnya.
Angin sesekali menyibak rambut pembaca.
Tenang semilir dan damai.
Sesampainya di rumah, bukalah peta dunia pada bagian Indonesia, tepatnya sebuah kota di Pulau Jawa bernama Yogyakarta. Di situ ada seorang anak yang hanya melihat Klaten dan Gunung Kidul sebagai kota yang jauuuh dari Yogyakarta. Karena anak itu mabuk darat. Tapi dalam pikiran, anak itu mengembara. Dia memikirkan sebuah kota lain yang akan didatanginya kelak. Kota London! Alasannya sederhana. Karena dia penasaran seperti apa kota kelahiran Enid Mary Blyton, pengarang buku-buku kesayangannya.
Ternyata Tuhan Yesus merestui dan malah membawa anak itu jauh ke utara. Sebuah kota yang menghargai karya seorang penulis hingga membuat sebuah monumen untuk memperingatinya. Kota utara bernama Edinburgh terbentang di antara 56° 05´ – 55° 80´ LU (Lintang Utara) dan 3° 47´ – 3° 05´ BB (Bujur Barat). Sebagai gambaran Yogyakarta terbentang di 7° 45´ – 7° 05´ LS (Lintang Selatan) dan 110° 21´ – 110° 52´ BT (Bujur Timur). (Catatan: 0° lintang adalah kota Pontianak. Dan 0° bujur adalah kota Greenwich). Yuk ingat-ingat sedikit pelajaran geografi hehe….


Ada dua sudut pandang kota Edinburgh yang aku ceritakan kepada pembaca yaitu Monumen Scott dan Kastil Edinburgh. Dua sudut pandang ini mewakili pemikiranku pada kehidupan. Aku belajar menjadi penulis dan aku memiliki kebebasan – untuk mengeluarkan pemikiranku tentang kehidupan.
Monumen Scott adalah sebuah menara setinggi 61 meter yang diresmikan pada tahun 1846. Menara ini dibangun bukan untuk pahlawan perang atau mantan perdana menteri, namun untuk seorang novelis sejarah, penyair, dan dramawan kenamaan bernama Sir Walter Scott. Pak Scott adalah penulis pertama Skotlandia yang karyanya dikenal sampai ke seluruh dunia.


Menara Scott dibangun dengan arsitektur bergaya gotik. Ciri khas bangunannya tinggi dan megah dengan ujung meruncing, rose window – jendela berbentuk bunga mawar, dan pointed arch – lengkungan runcing. Seluruh menara berwarna serba hitam. Tepat di tengah dari menara ini duduklah patung Pak Scott berwarna putih kontras dengan warna menaranya. Puncak keindahan menara ini adalah 64 tokoh yang mewakili berbagai karakter dalam buku karya Sir Walter Scott. Misalnya Rebecca (novel Ivanhoe), Diana Vernon (novel Rob Roy), dan Constance (Puisi Marmion)
The willow which bends to the tempest often escapes better than the oak which resists it – Pohon willow yang membungkuk dari badai sering lolos lebih baik daripada pohon oak yang melawannya)
(The Complete Works – Sir Walter Scott)
Sejalan dengan ide kota Edinburgh terhadap Sir Walter Scott, aku membayangkan kota Blora membangun sebuah menara untuk Pak Toer (Pramoedya Ananta Toer) dengan sosok Minke, Nyai Ontosoroh, dan Gadis Pantai menghiasi menara tersebut.
Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya
(Rumah kaca – Tetralogi Buru)
Kembali ke kota utara, aku mengajak pembaca memasuki sudut pandang keduaku.
Sebuah kemegahan terpampang jelas di depan mata seperti menatap Gunung Merbabu saat aku berkendara di kota Magelang menuju Salatiga. Pembaca langsung disuguhi sebuah kastil berdiri dengan megah di atas gunung berapi yang sudah punah bernama Castle Rock. Kastil paling megah yang pernah aku masuki. Persis di kedua gerbangnya, pembaca disambut oleh Robert Bruce di sisi kiri dan William Wallace di sisi kanan. Mengenai Wallace, pembaca bisa menonton kisah kepahlawanannya di film Braveheart (1995) yang dibintangi oleh Mel Gibson dan mendapatkan Oscar sebagai film terbaik.




Salah satu semboyan Fighting for freedom (1314) terasa menonjol saat aku membaca deretan semboyan mengenai sejarah Kastil Edinburgh. Kebebasan untuk mengatur hidupnya sendiri, lepas dari aturan Kerajaan Inggris adalah misi Wallace saat itu. Namun, para bangsawan/ningratnya Skotlandia masih tercerai berai ditambah prajurit Kerajaan Inggris terlalu kuat sehingga perjuangan Wallace tidak berhasil. Sampai sekarang Skotlandia masih berada di bawah persemakmuran Kerajaan Inggris.
Berjalan mengelilingi kastil seperti ditarik ke seribu tahun yang lalu. Bagaimana mereka bisa membangun kastil semegah ini? Padahal dulu belum ada peralatan bangunan secanggih sekarang. Di dalam kastil seperti masuk ke suatu wilayah. Beberapa bangunan dan monumen yang aku ingat adalah gerbang masuk (Outer Defences), Gedung Militer, Kapel Santa Margaret, The One O’Clock Gun (adalah sinyal waktu yang ditembakkan setiap hari pada pukul 1 siang kecuali hari Minggu, Jumat Agung, hari Natal) dan Memorial Perang Nasional Skotlandia https://www.snwm.org/ . Memorial inilah bangunan yang paling menarik karena wisatawan dilarang memotret koleksi museum tersebut. Semua pengunjung hanya bisa mengabadikan peninggalan sejarah itu dalam ingatan mereka.




Di dalam museum ini, pembaca bisa melihat deretan tempat Resimen Skotlandia di seluruh dunia yang mereka kunjungi. Aku menemukan tulisan JAVA. Artinya Resimen ini pernah sampai ke pulau tempatku tinggal. Aku berpikir apa tujuan mereka mendatangi Java? Hal apakah yang mereka tuliskan dalam catatan perjalanan tersebut? Kapan tepatnya mereka sampai ke Java? Aku membayangkan kalau mereka menyerang kotaku, apa kabarnya Pojok Benteng Kulon dan Wetan sebagai benteng pertahanan Keraton Yogyakarta? Mulai lebay pikiran Simbok satu ini 🙂 hahaha…
Setelah tulisan ini di-publish, sobatku EyankYetti memberiku catatan bahwa kunjungan Resimen Skotlandia ini bersamaan dengan kedatangan Thomas Stamford Raffles ke Hindia Belanda tahun 1811 sampai 1816. Buku setebal 400 halaman berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey dia berikan, dan aku langsung menyerah. Aku ga sanggup melahap 400 halaman.


Semoga saat anakku sudah dewasa dan membaca tulisan ini, dia bisa mencari tahu dan menyempurnakan tulisan ini dengan jawaban yang detail. Semangat anakku.
Dari The Upper Ward aku menatap lebih jauh lagi ke Laut Utara.
Ah… ga nyangka “ada” Java di sini.
Bukan sekedar apa yang terlihat di depan mata, namun berawal dari sebuah pikiran, kamu sungguh nyata berada jauh ke utara.
(Simbok Santi)







Leave a comment