Catatan #7 Permadani Hijau yang Memberi Cerita Kehidupan (Catatan Pendakian Savana Propok)  

Written by

·

Dear Pembaca, saat membaca tulisan ini jangan lupa sambil mendengarkan lagu ENYA yang berjudul Only Time. Maknyess….

Setiap manusia boleh bermimpi

Setiap manusia boleh bercerita

Aku adalah manusia

Aku bercerita mengenai mimpiku (moonshot-ku) untuk bisa meraih awan. Untuk bisa menikmati keindahan semesta alam melalui proses pendakian yang penuh kesabaran. 

Belajar dari pendakian Gunung Andong, pendakian kali ini aku lebih siap. Aku mencari pemandu untuk mengantar ke pendakian plus menyewa porter. Usiaku mendekati setengah abad, pembaca. Aku bukan anak muda usia dua puluh tahun yang masih kuat fisiknya. Sekarang faseku adalah penikmat. Aku rela untuk menabung demi menikmati alam. Intinya dalam proses pendakian aku ga mau repot. 

Sumber: Google Earth

Savana Propok adalah tempat yang aku pilih dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maksudnya aku sekeluarga sudah tahu mau ke Lombok tapi kami tidak menuju Puncak Rinjani. Aku tahu diri, secara fisik belum siap. Jadi aku mencari alternatif bukit-bukit yang ada di sekitar Rinjani. Aku memilih Savana Propok karena area pendakiannya masuk ke dalam hutan jadi pikirku mungkin landai dan teduh jalannya. Ternyata… 

Waktu yang ditentukan akhirnya tiba. Setelah selesai acara kelulusan sekolah dasar, aku dan keluarga berangkat ke Lombok. Beginilah simbok dari desa. Penyakit mabuk kendaraan masih menyatu dan hari itu tombolnya ditekan keluar, aku mabuk udara. Turun dari pesawat,  perut rasanya bercampur baur dan kepala pusing. Setelah gosokan minyak angin dan minum teh panas, badan mulai enakan. Aku dan rombongan menyempatkan diri mampir di sebuah warung makan untuk makan siang yang tertunda. Perjalanan ke Sembalun diteruskan. Jarak dari bandara ke penginapan di Sembalun memakan waktu lebih dari dua jam. Jalan berliku berkelok naik terus membuat mabuk udara yang sudah redam keluar kembali menjadi mabuk darat. Alamak… lengkap sudah ini. Menjelang sore hari sampailah kami di sebuah penginapan bernama Rinjani Hill.  

Puji Tuhan penginapan tempat aku dan keluarga beristirahat termasuk nyaman dan bersih. Masing-masing kamar memiliki teras lengkap dengan kursi dan meja. Saat kami datang, petugas penginapan sedang mengganti sprei dan segala kelengkapan kamar. Selama menunggu pembaca bisa memesan makanan dan minuman. Pemandangan di sekitar penginapan sangat indah. Bukit-bukit berjejer rapi dan hijau. Bayangkan seolah-olah pembaca berada dalam sebuah kawah besar dikelilingi dinding-dinding bukit yang berjejer rapi. Kawah inilah sebuah desa bernama Sembalun. Di dalam kawah yang bersuhu 18 derajat celsius aku beristirahat malam ini. 

Keesokan harinya sebuah mobil pick up datang siap menjemput. Selepas sarapan, aku dan rombongan menuju ke basecamp Savana Propok.

Menapaki sebuah pendakian itu seperti menjalani cerita kehidupan.

Ada saat kita memang harus naik dan bergerak turun. Ada kalanya ketemu kabut yang sangat tebal sehingga jarak pandang terbatas, ada kalanya matahari bersinar sangat cerah sehingga pemandangan terhampar indah di depan mata. Bahkan matahari yang sedang bersinar terang pun tiba-tiba bisa berubah menjadi hujan deras. 

Langkah awal dari basecamp menuju pos satu, pembaca dimanjakan oleh jalur yang landai dan dipayungi pepohonan yang rindang dan saling mengait. Beberapa kayu besar jatuh melintang di tengah trek pendakian yang membuatku harus melompati kayu tersebut. Seekor monyet mulai menyapa, tanda bahwa hutan masih asri. Monyet-monyetnya ga nakal, mereka hanya melihat dan sesekali melirik ke tas apakah ada makanan untuk mereka. Saran dari pemandu, sebaiknya monyet ini tidak terlalu sering diberi makan oleh pendaki supaya ekosistem mereka mencari makan di hutan tetap terjaga. Pemandu juga menemukan jejak babi hutan di pendakian kali ini. 

Lanjut perjalanan dari pos satu menuju pos dua. Aku masih dimanjakan oleh trek di bawah pohon namun mulai berliku dan menanjak. Beberapa trek mendaki memaksaku untuk berpegangan pada tali yang disediakan karena kemiringan trek yang terjal ditambah jalur licin. Tidak jarang aku mesti dibantu pemandu untuk bisa naik ke trek selanjutnya. Inilah pentingnya menyewa pemandu untuk memudahkan pendaki usia “lanjut” hehe… Semakin lama trek menunjukkan taringnya. Beberapa trek memaksa lutut dan dahi beradu karena keterjalannya. Kalau pembaca sudah kesusahan, pembaca juga bisa ditarik oleh pemandu. Untungnya Tarzan, pemandu kami pernah menarik pendaki dengan bobot 100 kilogram lebih jadi saat kami meminta dia bergantian menarik rombongan kami, dia terlihat santai saja. Oiya kelebihan memakai jasa pemandu adalah Tarzan menyediakan alat-alat P3K. Saat kaki tiba-tiba kram dia sudah siap sedia menolong.  

Aku berpapasan dengan banyak anak muda berusia sekitar 18 tahun sampai 23 tahun. Kok tahu umur mereka? La wong aku tanyai satu-satu haha…  Aku kayak petugas sensus, setiap kali papasan aku bertanya asalnya dari mana dan usia mereka. Kebanyakan dari Lombok. Aku juga berpapasan dengan satu keluarga yang membawa tiga orang anaknya untuk mendaki. Bahkan ada sebuah keluarga yang terdiri dari persatuan para sepupu berjumlah 12 orang. Aku iri banget, aku membayangkan seluruh saudaraku dan para sepupuku memiliki hobi yang sama kemudian kami beramai-ramai mendaki. Alangkah bahagia dan serunya perjalanan pendakian. Para sepupu ini dipimpin oleh tante mereka yang perkasa.

Dan benar saja semakin menuju Plawangan, trek mulai terbuka, tidak lagi di bawah pepohonan dan duuuh… jalur pendakian menuju Plawangan persis berdampingan kayak pengantin dengan jurang terjal. Jarak hidup dan mati terlalu tipis, artinya kalau pembaca salah melangkah maka jurang menganga siap menerkam. Sekarang kalau membayangkan jalur pendakian itu, aku ga berhenti mengucapkan syukur pada GustiYesus betapa baiknya aku boleh melaluinya. Beda dengan jalur summit-nya Gunung Andong dan Gunung Ijen yang relatif lebar, jalur ini sempit. Ga bisa gandengan dua orang. Padahal untuk pendaki aleman sepertiku butuh pendamping. Bermodalkan tali yang kugenggam erat aku mulai melangkah perlahan-lahan ke atas. Rombonganku menyusul keluarga yang mendaki bersama tiga anak yang tadi duluan saat istirahat makan siang. Aku beriringan dengan anak-anak pemberani itu. Mereka tampak tenang meniti satu per satu langkah menuju ke puncak Plawangan. Rombongan sepupu 12 jangan ditanya mereka sudah jauh melesat ke Bukit Kondo. 

Oiya pembaca aku kelupaan cerita di awal bahwa jalur ke Savana Propok adalah jalur yang sama ke Bukit Kondo. Sebagai informasi, Sembalun memiliki 7 puncak pendakian atau terkenal sebagai Seven Sembalun Summits yang terdiri dari Rinjani (3726 m), Sempana (2329 m), Lemba Gedong (2200 m), Kondo (1934 m), Anak Dara (1923 m), Pergasingan (1806 m) dan Bao Ritip (1500 m). 

Pada saat sampai di Plawangan pas tepat dalam guyuran hujan, ada dua anak panah yang satu mengarah ke Savana Propok yang satu melanjutkan ke Bukit Kondo. Tujuan tetap ke Savana Propok karena nyaliku tidak kuat meniti sebuah jalur sempit di tengah dua jurang sisi kanan dan kiri. Mereka yang berhasil ke Bukit Kondo adalah pendaki tangguh yang siap menaklukan Gunung Raung 🙂 

Setelah berjalan kurang lebih empat jam, kami sampai juga di Savana Propok 2. Kelebihan dari menyewa pemandu dan porter adalah begitu sampai di lokasi berkemah, mereka sudah mempersiapkan segala keperluan kita seperti teh manis panas, buah jeruk, semangka dan pisang goreng. Tenda sudah terpasang, lengkap dengan sleeping bag untuk aku dan keluarga. 

Baru enak-enaknya menikmati pisang goreng tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku dan keluarga berlindung di dalam tenda. Langsung tertidur pulas karena kelelahan mendaki. Sekitar pukul enam sore, hujan mulai berhenti. Beberapa tenda pendaki lain kemasukan air karena mereka lupa tidak membuat parit di sekeliling tenda untuk aliran air. PujiTuhan tendaku aman.

Sambil menikmati sop ayam, aku menebarkan pandangan ke langit yang bertebaran bintang. Sayang sekali ponselku tidak berhasil merekam keindahan malam. Lumayanlah kenangan masa kecil di Yogyakarta terbayar lunas melihat langit malam itu. Rasi crux yang menyerupai layang-layang dan rasi kalajengking muncul malam itu. Sisanya aku kurang paham. Anak-anak muda yang berkemah di sebelah kami menyetel musik dan bernyanyi-nyanyi sepanjang malam. Begini ya rasanya camping di atas bukit yang penuh anak muda. Menjelang tidur, anakku bertanya: “Besok kita turunnya bagaimana ya?”

Waduh… ternyata anakku sama denganku agak-agak ngeri ketinggian. Ya kita pikirkan besok pagi, Nak. Malam ini mari kita tidur. 

Kukuruyuuuk… Pagi itu menu sarapan diawali dengan pancake khas Lombok dan ditutup dengan nasi goreng. Udara segar dan kecantikan Rinjani menghiasi pemandangan mata. Kemarin saat tiba di Savana Propok 2, Rinjani tertutup kabut pekat. Sisi ini adalah sisi yang jarang terlihat di foto-foto Instagram. Gunung Rinjani terlihat patah di bagian tengahnya. Sedekat ini aku dengan puncak Rinjani. Kesannya dekat padahal kalau mendaki bisa seharian lagi. Aku bersyukur bisa menatapnya sedekat itu. Iya sedekat itu aku dan moonshot-ku. 

Terbangun dari lamunan keindahan Rinjani, aku masih memiliki PR turun gunung. Duh kemarin saja rasanya penuh perjuangan, sekarang mesti turun di jalan yang sama. Tantangan bertambah karena jalur atau trek licin sisa hujan kemarin. Dan… bisa ditebak, beberapa kali melewati trek aku merosot alias duduk sambil jalan. Saking ngerinya melihat ke samping kiri. Yang terpikir adalah sampai berapa lama aku mesti merosot begini. Keberanian aku kumpulkan, latihan pernafasan yang selama ini kulatih aku praktikkan. Pelan-pelan aku menyuruh kakiku berdiri sambil bepegangan pada tali berjalan turun.  

Cerita tentang Savana Propok bukan cerita tentang berapa ketinggian gunung atau bukit yang berhasil aku daki melainkan cerita mengenai perjalanan manusia. Cerita bahwa dalam hidup manusia, ada masa dimana untuk berjalan tegak pun kita tidak mampu, kaki yang biasa kuat menopang langkah, lunglai. Bahkan memaksaku berjalan dalam posisi duduk. Karena memang saat itu yang bisa kulakukan. Wajar! Seperti kata Fiersa Besari: kadang kala tak mengapa untuk tak baik-baik saja. Kita hanyalah manusia, wajar jika tak sempurna.  

Tidak semua orang kuat menatap jurang terjal dan harus berjalan berdampingan kayak pengantin (aku ulang dua kali saking dekatnya aku dan jurang). Namun kekuatan doa dan tekad tidak mudah menyerah berhasil menumbuhkan semangat. Pelan-pelan tapi pasti aku melangkah turun. Ketika akhirnya sampai di Pos 1, aku tersenyum lebar sekali, jalur landai membuat kaki tegak berdiri kuat bahkan jika mau aku bisa berlari menuju basecamp.  Hahaha… gaya. Itulah kehidupan. Selepas badai percayalah ada pelangi menanti. Terima kasih Tuhan

Tuhan memberikan alam semesta untuk kita kenali. Di dalam hutan, ada sebuah ekosistem tempat monyet, burung, babi dan binatang lain yang hidup di bawah payung rindangnya pepohonan. Kita manusia menumpang lewat untuk bisa berkenalan dengan ekosistem itu sehingga bersikaplah sopan, jaga kebersihan dan tidak jemawa. 

Belajar dari pendakian yang kualami, membuatku mengenal sejauh mana kemampuanku. Bersandar pada Tuhan dalam setiap peristiwa hidup. Kenalilah dirimu dan jangan menantang sesuatu di luar kemampuanmu. Inilah kesimpulanku dalam pendakian kali ini.

Who can say where the road goes? 

Where the day flows? Only time

And who can say if your love grows

As your heart chose? Only time

(Enya – Only Time) 

Leave a comment