Catatan #9 Ngobrol di Prau

Written by

·

The      Big     Family     of    Kisminatun!!! Sekelompok anak muda berteriak sahut menyahut membaca tulisan di kaos kami. Aku tertawa lepas. 

Anakku tertegun, bingung dia. Katanya, “Kok mereka berani menyapa ya, Ma?”

Itulah nak, komunitas anak-anak pecinta gunung. Mereka ramah dan seru. Itu yang Mama suka. Tidak canggung saling menyapa. 

Perhatikan! Setiap kita berpapasan dengan pendaki gunung selalu ada senyum mengembang di bibir mereka. 

Karena pecinta gunung adalah pecinta perdamaian. 

Butuh berpikir ratusan kali untuk membuat keributan di atas gunung. 

Para pendaki gunung menghabiskan waktu berjam-jam berjalan kaki pasti mau cari damai seraya bersyukur betapa baiknya Tuhan mencipta semesta alam.

“Masnya masih kuliah atau baru saja lulus atau sudah bekerja?” Tanyaku saat berpapasan dengan tiga mas-mas dari Lampung.  “Soalnya kalau SMA ga mungkin, masnya terlalu tua, tapi kalau sudah kerja masih terlalu muda“.

Dijawab, “Kami baru saja lulus kuliah. Sekarang masih nganggur. Hahaha…”

Ngobrol singkat dengan mereka, aku mendapat informasi mereka melakukan pendakian ke Gunung Prau untuk melatih otot kaki sebelum melakukan pendakian ke Gunung Merbabu. Pak suami dan anakku sudah pasrah melihatku sok akrab menyapa para pendaki saat kami berpapasan di jalur pendakian. 

Hehe… patung saja diajak ngobrol apalagi manusia

(Quote paksu tentang diriku). 

Melalui sebuah proses pendakian, pembaca bisa bertemu dengan kawan-kawan dari berbagai daerah di Indonesia. Kita bisa saling berkenalan dan berbagi informasi. Bahkan bisa mendapat kawan dan saling memberi support seperti yang kualami saat proses pendakian di Savana Propok. Aku cerita sedikit ya, aku sisipkan di sini. Jadi kamar kami sebelahan di penginapan Rinjani Hills. Pagi itu saat sama-sama menunggu jemputan, kami berkenalan. Namanya Kak Sri, berasal dari Bontang, Kalimantan Timur. Kak Sri dan puteranya hari itu melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Dari perkenalan itu kami bertukar nomor handphone dan masih saling berkontakkan sampai hari ini. 

Kembali ke Gunung Prau, sebuah pendakian tanpa rencana bermodalkan kenekatan dan keyakinan. Jadwal hari itu selesai berdoa di Rawaseneng kami lanjut ke Dieng. Paksu menawarkan pendakian tek tok ke Gunung Prau. Kebetulan dia sudah pernah ke sana. Berhubung bulan Desember dan hujan masih sering turun, maka aku berdoa pada TuhanYesus kalau cuaca cerah kami akan mendaki, tapi kalau hujan ya kami keliling di Dieng saja. Doaku malam itu. Dan paginya doaku terjawab. Langit biru dan kami semangat mendaki ditemani oleh Pak Santo, seorang pemandu Gunung Prau yang berdomisili di daerah Dieng.

Berbekal nasi bungkus yang kami beli di basecamp, kami tidak lupa membawa jas hujan. Ingat pembaca, adalah suatu kewajiban membawa jas hujan pada saat pendakian meskipun orang bilang cuaca panas atau musim kemarau. Karena saat berada di gunung, hujan bisa turun sewaktu-waktu tanpa mengenal musim. Benar saja kami mendaki cuaca cerah, langit biru namun saat menjelang sore dalam perjalanan turun kami diguyur hujan deras.

Pendakian kali ini aku bertemu dengan banyak sekali pendaki bahkan ada sebuah sekolah yang merayakan kelulusan anak kelas 12 dengan mendaki Gunung Prau. Jumlah mereka kurang lebih 80 anak. Aku merasa tua. Mereka sibuk panggil aku, “Mari Bu.” Kemudian berpapasan dengan serombongan pendaki berjumlah 17 orang termasuk porter. Pendaki tersebut semuanya berusia di atas 50 tahun. Kok aku bisa tahu? Karena aku mengobrol dengan Ibu-ibu dan bapak-bapak ini. Ingat Quote paksu di atas. 

Tidak heran jika Gunung Prau disebut sebagai pendakian untuk para pemula karena jalurnya yang cepat dan cenderung ramai. Untuk tek tok membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Sehingga pendaki pemula akan merasakan nyaman berpapasan dengan banyak pendaki. 

Ada satu catatan penting di pendakian Gunung Prau jalur Dieng. Sempatkan beristirahat di akar cinta dimana ada banyak pohon tua yang teduh dan hanya di sini pembaca ketemu akar pohon saling kait mengait sepanjang 100 meter.

Leave a comment