Catatan #13. Ungaran, Sebuah Perjumpaan dengan Banteng

Written by

Β·

Semesta buat cerita 

yang bahagia

Langit seakan memanggil 

matahari cepat tiba

(Tersemogakan – Keisya Levronka)

Mari Tante…

Mari… silahkan. Hati-hati ya.

Percakapan singkat saat aku berpapasan dengan seorang anak remaja putri, kira-kira masih di bangku SMA dalam perjalananku turun menuju basecamp

Di setiap pendakian, tegur sapa, senyum dan sebuah percakapan singkat adalah hal yang lumrah ditemui. Tidak lupa saling mendoakan untuk selalu berhati-hati. 

30 menit kemudian, aku melihat remaja tersebut bergegas turun mengejar kami. 

Kenapa kak? Tanyaku. 

Aku disuruh pulang sama mama… dicariin. 

Mulutku ternganga. Hah? 

Okay… Berhubung aku tidak tahu apa yang terjadi, maka dipikiranku saat itu bisa jadi dia pergi tanpa izin dan ketahuan sama mama langsung disuruh pulang, bisa jadi ada berita duka, atau banyak bisa jadi yang lainnya. Seklumit percakapan di awal ceritaku saat mendaki Gunung Ungaran.

Perjalanan dari tempat parkir menuju basecamp Perantunan mewajibkan pengendaran roda 4 untuk menyewa ojek. Menembus gelapnya langit malam, aku menikmati udara dingin berhembus di sela baju coklatku. Hanya tujuh menit berkendara, basecamp Perantunan sudah di depan mata. Pembaca akan takjub dengan keindahan basecamp. Fasilitas lengkap telah disediakan untuk para pengunjung. Perantunan bukan sekedar basecamp bagi para pendaki. Dia adalah tempat wisata alam. Tersedia area camping ground, vila yang bisa disewa, bahkan tersedia aneka warung untuk para pengunjung. Inilah basecamp terbaik dari berbagai pendakian yang telah aku jalani. Pembaca yang tertarik menikmati keindahan Kabupatan Semarang dari puncak tinggi bisa menggelar tenda di sini atau sekedar duduk memandang keelokan alam Indonesia. Fasilitas kamar mandi dengan air berlimpah. Perjalanan pendakianku dimulai dari sini. Selesai berdoa aku melangkahkan kaki menuju puncak. 

Awalnya aku gojak gajek mau meneruskan rencana mendaki atau ditunda kembali. Sudah hampir satu tahun aku berpuasa. Pendakian terakhirku adalah Gunung Gede di bulan Mei 2024. Kapasitas curah hujan tinggi membuat beberapa jalur pendakian mengalami banjir. Prakiraan cuaca pada hari dimana aku akan mendaki dilaporkan 70% turun hujan. Aku berdoa pada Tuhan mohon diberi mujizat hujan tidak turun saat mendaki. Aku sungguh kangen mendaki. Malam itu rintik hujan turun. Percaya besok tidak hujan, kalau pun mendung baiklah asal jangan hujan, negoku pada Tuhan

Puji Tuhan Yesus, pendakian kali ini diberikan penundaan turun hujan. Perjalanan dari pos 1 menuju pos 5 aman lancar. Sepanjang pendakian kabut menyelimuti. Pemandangan indah yang biasanya terlihat menawan tertutup rapat oleh dinding tebal kabut. Semua berwarna kelabu. Kejutan ada di puncak Bandolan Gunung Ungaran. Badai angin kencang sekali. Semua diterbangkan. Aku harus berpegangan erat pada batu atau sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Seumur-umur mendaki, akhirnya aku berkenalan dengan badai gunung. Muka dan tangan rasanya membeku saking dinginnya. Suara angin menderu menghantam termometerku ke tanah seraya menunjukkan suhu 15 derajat celcius sebelum akhirnya mati. Pendakian menuju Puncak Botak pun tidak bisa dilanjutkan karena terpaan angin terlalu kencang. Setelah berfoto sejenak, tim kami memutuskan untuk turun kembali ke Pos 5 bernama Tikungan Cinta. 

Duduk sembari beristirahat dan memasak makan siang di atas gunung adalah hal yang paling membuat kangen. Dalam hati aku nego lagi sama Tuhan, tolong bukalah jendelaMu supaya aku bisa menikmati mahakarya di sini. Perlahan tabir kabut terbuka sebentar kemudian menutup kembali. Ah…memang nih Tuhan sedang mengajakku bercanda. Tak lama kemudian jendela itu akhirnya terbuka. Pemandangan permai terbentang jauh di depan. Terima kasih Tuhan. Di seberang Gunung Merbabu berdiri mengintip di balik awan sembari menyapaku, Halo….. kapan ke sini lagi?  Kemudian awan bergerak perlahan menutup kembali. 

Bagian inilah yang paling aku suka dan membuat kangen teramat sangat ketika berada di ketinggian, aku menatap awan. Menatap bukan mendongak. Aku dan awan bertatapan. 

Aku mengakui foto-fotoku di gunung tidak seindah foto yang bertaburan di media sosial. Aku memang ingin menampilkan sesuatu yang otentik (asli, bisa dipercaya). Apa pun yang kulihat, kulukis dalam memoriku ya inilah yang aku ceritakan pada pembaca. Satu hal yang menjadi pedoman dalam setiap tulisanku adalah foto yang aku tampilkan tidak mengalami proses edit. (Kecuali satu foto di Gunung Papandayan aku edit supaya efek dramatis Planet Mars terasa πŸ™‚ )

Saat sedang melamunkan hasil fotoku yang berwarna kelabu di Pos 5 Tikungan Cinta, aku berjumpa dengan tiga pemuda anggota Banteng Raiders. Sebagai informasi Banteng Raiders adalah Batalyon Infanteri 400 TNI Angkatan Darat yang dibentuk pada tanggal 23 Maret 1953. Batalyon ini sejak dulu dikenal sebagai satuan elit setingkat pasukan komando di jajaran Kodam IV/Diponegoro. (https://id.wikipedia.org/wiki/Batalyon_Infanteri_400)

Salah satu pemuda yang merupakan senior sedang mensupervisi kedua pemuda lainnya. Aku panggil mas saja untuk memudahkan pembaca. Usianya masih di bawah 30 tahun. Mas ini terlihat terampil dan komunikatif. Tata bahasanya lugas dan penuh percaya diri. Kami berkenalan tanpa bertukar nama. Itulah keunikan gunung. Kami bisa bercakap-cakap seolah bertemu kawan lama. Bagi kami pertukaran cerita adalah hal yang spontan dan alami. 

Tidak perlu formalitas untuk memulai sebuah percakapan. Minat yang sama terhadap alam membuat kami menjadi kawan lama. 

Mas ini bercerita, salah satu pelatihan Banteng Raiders dimulai dari berenang di laut dilanjutkan berjalan kaki dari Pantai Marina menuju ke Puncak Gunung Ungaran dengan membawa beban berat di pundak mereka. Perkiraan jarak tempuh darat sekitar 40 km, belum termasuk mendaki sampai puncak Gunung Ungaran. Dia juga berkisah tentang proses pembuatan Tugu Puncak Raider Gunung Ungaran yang melibatkannya bersama teman-teman seangkatan, memanggul batu bata, semen dan pasir. Mas ini bahkan menceritakan kisahnya selama bertugas di Papua. Selama 18 bulan penugasan, dia telah kehilangan 19 teman yang gugur. Aku terdiam. Hening… 

Di puncak tinggi Kabupaten Semarang, aku menambah pengetahuan baru. Dulu setiap kali melewati Jalan Raya Bawen menuju Kota Semarang, fokusku adalah menatap keindahan Vihara Budhhagaya Watugong. Sekarang tatapanku bertambah, tatkala melewati Batalyon Infanteri 400/Banteng Raiders di daerah Srondol, aku akan mengingat perjumpaan tersebut.  

Ternyata membutuhkan irisan lini masa dalam kehidupan supaya kita sadar ada sebuah tempat yang selama ini terlewatkan dan tidak kupedulikan. 

Gunung adalah ruang percakapan tempat kita berjumpa dengan orang lain di luar dari lingkungan yang biasa kita jumpai. Selalu ada kejutan dalam setiap perjumpaan di pendakian. Simpan saja memori yang positif sehingga hidup kita akan selalu menjadi terang. 

Gunung juga menjadi salah satu cara untuk membuka cara pandang seseorang. Semua kejadian bahkan masalah dalam kehidupan harus dilihat secara luas demi mencegah overthinking. Pikiran sempit, negatif yang tiba-tiba muncul bisa berkurang saat cara pandang dan pola berpikir kita berubah. Misalnya berjumpa dengan seseorang dan dia cemberut, kita langsung merasa dia sedang marah pada kita. Padahal belum tentu, bisa jadi orang tersebut cemberut karena menahan sakit perut atau sakit gigi atau pusing memikirkan harga cabai yang mencapai 150 ribu per kilogram. 

Berpikirlah luas seperti cakrawala. Hidup yang sekarang sedang kita jalani bukanlah akhir dari hidup kita. Dia adalah penggalan lini masa. Kalau sudah berhasil mengaitkan satu lini masa dengan lini masa lainnya, percayalah pembaca. Dalam menjalani kehidupan, kita lebih ringan melangkah. 

Kejadian hari ini adalah jawaban dari pertanyaan di masa lalu.  

2 responses to “Catatan #13. Ungaran, Sebuah Perjumpaan dengan Banteng”

  1.  Avatar
    Anonymous

    terima kasih tulisan dan sharingnya, aku ga tau gimana jadinya kalo aku tiba2 ada di badai gunung itu.

    Liked by 1 person

  2. Maria Santi Mawanti Avatar

    πŸ™πŸΌπŸ˜€ Terima kasih telah berkenan membaca. Memberiku semangat untuk terus belajar menulis.

    Cara paling aman menghadapi badai adalah mendaki bersama tim, kita akan saling menolong dan menopang bersama

    Like

Leave a reply to Maria Santi Mawanti Cancel reply