Deus Absconditus dalam Hidupku yang Tersembunyi 

Written by

·

Ketersembunyian Tuhan bukan tanda ketiadaan. Tapi strategi kasih-setia. Tuhan tidak ingin robot. Ia ingin hati yang memilih mencintai.

(Romo Koko, Albertus Joni; Sabtu 12 Juli 2025)

Penggalan kotbah Romo Koko di youtube LoJf  yang aku tonton hari itu membuatku terhenyak. Apakah ini jawaban dari seluruh pertanyaan mengapa ada kesedihan, keserakahan, kemarahan, dendam dan iri di dunia yang mengakibatkan masih ada kemiskinan dan perang? Saking senangnya diberi kehendak bebas, beberapa manusia memilih tidak mencintai sesamanya. 

Berbicara mengenai pilihan dari konsekuensi kehendak bebas, aku butuh waktu lama untuk meresapi maksud Tuhan. Untuk bisa memilih sesuai dengan kehendak Tuhan atas tugasku di dunia ini. Untuk tidak memberontak lagi, tidak merasakan kecewa dengan penuh pertanyaan; mengapa aku yang harus begini, Tuhan? Mengapa bukan kawanku yang itu? Mengapa dia yang Kaupilih untuk bisa pamer segala achievement-nya? Mengapa dia yang Kaupilih untuk menjadi sebuah role model kesuksesan hidup manusia secara duniawi? Mengapa bukan aku? 

Tatkala aku bertanya, Tuhan manakah yang aku pilih, tetap berkarier di kantor atau berkarier domestik sebagai ibu rumah tangga? Mohon berikan aku petunjukMu sebagai tanda. Kalau nanti tandanya A aku pilih A kalau tandanya B aku pilih B. Berbulan-bulan aku bergumul pilih A atau B. Tepat 6 bulan, petunjuk kehidupan mengarahkan jawaban untuk pilihan B. Aku pamit dari kantor. Dan inilah aku, lebih dari satu dasawarsa menjalani pilihan menjadi Ibu Rumah Tangga.  

Acceptance! Penerimaan! Aku menerima sebagai sebuah tugas dari Tuhan. Jika pernah berkecil hati atas hidup sekarang, tidak apa-apa aku pun pernah merasakannya. Tapi, aku langsung bangkit dan percaya ada karya Tuhan di dalamnya. Lakukan tugas dengan penuh cinta, sukacita dan rasa syukur. Percayalah pembaca, Tuhan akan memberikan berlimpah rahmat dan perlindungan pada kita. Dengan menerima tugas ini, hidup kita lebih fokus karena tahu apa yang menjadi purpose Tuhan atas hidup kita. 

Bekerja di tempat sembunyi terkadang memang terlupakan. Namun dia ada. Dia seperti hembusan angin. Perlu kipas untuk merasakan hadirnya. Penerimaan ini mengubah karakterku dari ekstrovet well done menjadi ekstrovet medium malah menjadi setengah introvert mungkin ya? Perbedaan ini lebih kepada pengisian baterai. Dulu, setelah berkumpul bersama teman-teman, bateraiku terasa penuh. Aku lebih suka beramai-ramai pergi bersama kalau perlu satu kelas bisa pergi bersama, aku semangat sekali. Saking esktrovertnya, aku adalah orang paling berisik di rombongan pendakian bersama 17 perempuan di kelasku.

Saat pergi bersama ke suatu tempat, aku sibuk sebagai seksi bujuk agar teman-teman mau pergi barengan. Pokoknya mesti banyak peserta dan beramai-ramai. Aku adalah tim hore. Sekarang bagaimana? Kebalikan. Ada teman yang tidak datang, ya gapapa mungkin dia sibuk, itu pikirku. Aku tidak lagi menjadi seksi bujuk. Setelah bertemu para sobat dalam interaksi sosial, aku butuh waktu jeda (hiatus) buat mengisi kembali bateraiku. Seringnya datang dan pergi secara diam-diam menjadi hal yang wajar kalau orang lupa keberadaanku.

Apakah menjalani kehidupan tersembunyi baik-baik saja? Tentu tidak. Aku masih harus belajar, belajar dan belajar mengendalikan diri terutama yang berkaitan dengan ambisi dunia. Aku takut dianggap sebagai orang tua yang gagal mendidik anak. Pandangan dunia sosial kemasyarakatan memberikan beban terlalu berat pada kami para ibu rumah tangga. Mereka berasumsi kalau ibunya kerja di rumah alias mengurusi pekerjaan domestik maka anaknya mesti berhasil secara duniawi dan perilaku baik karena ditungguin ibunya. Kalau anaknya berperilaku bandel atau pendidikan di sekolahnya tidak berjalan mulus maka blaming pertama adalah orang tuanya, terutama ibu yang sehari-hari di rumah. Masyarakat mulai menghakimi. Tuh ibu ngapain aja di rumah sampai anaknya bisa begitu!

Itulah kacamata kehidupan yang aku alami. Penghakiman masyarakat yang tajam membuat para ibu rumah tangga menjadi takut gagal. Anak dijadikan sebuah alat pemuas ambisi orang tua (Berhubung aku masih memiliki PR di masa lalu, aku menarik anakku kembali ke masa lalu untuk menyelesaikan PRku yang belum selesai).

Apa akibatnya? Banyak pertengkaran antara ibu dan anak. Ibu lupa bahwa anak bukan kloningan 100% DNA ibunya. Ada dna dari leluhur bapak, leluhur ibu dan lingkungan tempat dia bertumbuh yang jelas berbeda dengan lingkungan pertumbuhan ibu. Delta inilah yang mesti segera disadari oleh para ibu yang masih terkungkung masa lalu. Kesadaran untuk mengakui kesalahan dan kemudian memperbaiki memang terasa sulit. Namun itu adalah salah satu jalan supaya komunikasi ibu dan anak berjalan lancar. Sadarilah bahwa anak adalah sebuah hadiah (gift/present ) dari Tuhan yang dititipkan pada orang tua. Anak memiliki tugas tersendiri dari Tuhan yang harus dia selesaikan di dunia. Kami orang tua memberikan arahan, pendidikan dan keteladanan yang baik. Anak bebas mengekspresikan emosi senang, kecewa, marah dan sedih supaya orang tua bisa mengetahui dan mengevaluasi dampak dari pengasuhannya selama ini. 

Bicara pola komunikasi, aku dan anakku adalah dua generasi yang berbeda. Aku terdidik untuk tidak berbicara secara lantang pada orang tua. Kalau pun berdebat untuk membantah pendapat orang tua, aku harus memakai Bahasa Jawa Krama dimana tingkatannya lebih tinggi dari Bahasa Jawa Ngoko. Orang tua ngoko ke kita sementara aku harus berpikir dulu untuk membantah dengan kosa kata Jawa Krama. Karena menghapal Bahasa Jawa Krama itu sulit akibatnya terbentuk perilaku ya sudahlah.. males berdebat. Jadilah aku klan inggih.  

Sedangkan anakku berbahasa Indonesia. Perdebatan kami sejajar secara tata bahasa. Tidak ada yang lebih tinggi tingkatannya. Kami sama-sama menguasai Bahasa Indonesia. Jadi dua anak sulung berdebat, hem.. Bisa terbayangkan?

Dear Pembaca, kali ini ceritaku muter-muter dari Jawa Tengah, Jawa Barat sampai Jawa Timur sekarang aku harus kembali ke Banten. 

Aku memang bertugas “sembunyi”. Bukan untuk menunjukkan pada dunia seberapa hebatnya aku menjabat di sebuah kantor, seberapa banyak followerku di media sosial, seberapa cepat kendaraanku, seberapa banyak piala penghargaan yang bisa kupajang. Tidak! Bukan untuk itu Tuhan mengirimku ke dunia ini. Hidup tersembunyi secara sosial kemasyarakatan hasilnya tidak terlihat langsung. Dia seperti Tour de France sebuah perjalanan panjang bagaimana kehidupan berkeluarga beserta pembentukan karakter seorang anak. Bagaimana sebuah keluarga bertumbuh dengan Tuhan sebagai pusatnya. Aku bercerita to the point mengarahkan ke dunia rohani tujuannya untuk menghibur diriku sendiri dan para pembaca yang saat ini sedang merasa galau.

Ada pepatah yang pernah kubaca dalam sebuah buku; berusahalah selalu berperilaku baik dan sopan kepada sesama manusia supaya kita dipertemukan dengan manusia lain yang akan menolong kita dalam perjalanan melintasi sang waktu. Meskipun tersembunyi pasti saling bertemu. Ada rumusnya kebaikan mempertemukan kebaikan lainnya. 

One response to “Deus Absconditus dalam Hidupku yang Tersembunyi ”

  1. Ngemban Dhawuh  – Maria Santi Mawanti Avatar

    […] Deus Absconditus dalam Hidupku yang Tersembunyi  […]

    Like

Leave a reply to Ngemban Dhawuh  – Maria Santi Mawanti Cancel reply